Bab 41 Bangkit

63K 7K 167
                                    



Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Zain pov
"Semuanya sudah dilakukan bos. Tendernya dimenangkan oleh perusahaan kita."

Aku menatap Ari, asistenku yang kini sedang berdiri dan melaporkan perkembangan perusahaan.

2 minggu sudah setelah papa meninggal. Aku mulai tidak takut lagi dengan mama. Apalagi aku mendengar dari Reno, sepupuku kalau papa anfal karena mendapat telepon dari mama. Jadi bisa dikatakan papa meninggal dipicu oleh telepon mama yang menekan. Sungguh, rasanya ingin melakukan apapun tapi ini sudah takdir. Papa sudah tenang dan giliranku mewujudkan wasiatnya.

"Bagus. Jangan pernah kasih kesempatab PT. ARGA WIJAYA mendapatkan semuanya. Beli semua saham perusahaan mereka. Aku yakin mereka akan bangkrut."

Jahat, kalau boleh dikatakan. Tapi ini satu-satunya cara untuk mendapatkan hak ku kembali. Meski Rumi sudah menasehati agar aku melupakan perusahaan yang direbut mama, tapi aku tidak bisa. Itu hasil kerja kerasku, keringatku dari awal untuk membangun perusahaan itu.

"Baik pak. Owh ya Ibu Rumi menelepon tadi saat bapak bertemu klien."

Aku tersenyum saat mendengar nama Rumi. Dia penguatku selama ini. Aku sungguh tidak bisa hidup tanpa dirinya. Di saat aku berada di titik nadir dia yang selalu mendampingiku. Sampai aku bisa berdiri tegak lagi dan mempunyai taring.

"Kamu boleh keluar."

Ari menganggukkan kepala dan melangkah keluar dari ruanganku. Aku bersandar di kursi dan memutarnya untuk menghadap ke arah jendela yang menjadi latar belakang mejaku ini. Gedung-gedung tinggi menjulang di depanku.
Kurogoh saku dan mengambil ponsel.

"Assalamualaikum dek."

"Waalaikumsalam. Mas kemana aja? Janji mau nganterin ke dokter."
Astaghfirullah. Aku lupa. Menatap jam yang melingkar di tangan. Ini sudah pukul 4 sore. Harusnya tadi jam 3 aku sudah pulang dan mengantar Rumi.

"Owh maaf dek. Mas lupa. Sekarang adek dimana?"

"Udah di dokter. Sebentar lagi pulang."

Aku langsung beranjak dari dudukku. Panik menyambar jasku yang kuselempangkan di kursi dan mengambil tasku. Berlari ke arah pintu untuk segera menjemput Rumi.

*****

"Maafin mas."

Menyugar rambut dan kini menatap wanita berkerudung merah muda di depanku. Aku tahu Rumi marah. Saat aku menjemputnya di dokter dia tidak banyak bicara.

Kuraih jemarinya tapi Rumi menolak. Kami sedang duduk di teras rumah. Aku sudah mandi dan Rumi membuatkan teh hangat untukku. Tapi hanya itu. Dia tidak mau mengajakku bicara.

"Maafin mas, adek."

Aku menatapnya yang kini sibuk melipati baju-baju yang sudah kering dari jemuran. Tampak manis dengan pipi merona.

"Mas udah janji."

Kuhela nafasku mendengar ucapan Rumi. Aku memang lupa.

"Maaf. Tadi tuh sibuk menanti tender dimenangkan siapa jadi..."
Mendengar ucapanku Rumi langaung mengalihkan tatapannya ke arahku. Dia jne mengernyit.

"Yang dapat siapa?"

Tentu saja aku tersenyum bangga dan menunjuk diriku.

"Maslah. Perusahaan mama kalah dan mungkin akan bangkrut."

"Astaghfirullah mas. Gak baik. Rumi kan udah bilang ikhlasin aja. Toh milik mas sekarang udah lebih dari cukup."

Ucapan Rumi membuat aku menyugar rambut. Terlalu bingung kalau harus memimpali.

"Tapi mama sudah membuat papa meninggal."

"Mas istighfar. Gak baik bilang kayak gitu. Ini sudah takdir. Papa mas sudah tenang."

Rumi mendekat dan kini mengusap lenganku. Aku sendiri hanya menatapnya. Bimbang memang. Kebaikan dan kejahatan di dalam diriku sedang berperang.

"Mas, lihat Rumi."

Istriku menyentuh daguku dan membuat aku menatapnya.

"Ikhlasin itu. Bagaimanapun juga mama yang melahirkan mas. Bertarung dengan hidup dan mati. Membesarkan mas hingga menjadi seperti saat ini. Berakhlak baik dan suami yang sempurna. Itu berkat seorang ibu. Meski sekarang berseberangan dengan mas."

Aku ingin seperti Rumi. Hatinya benar-benar bersih. Tapi aku belum bisa.

"Aku butuh waktu."

Ucapanku itu membuat Rumi menganggukkan kepala.

"Waktu dan berdoa. Memintakan maaf mama dan Silvy. Dan doakan semoga mereka diberi hidayah. Semua sudah ada yang membalasnya mas. Kita manusia tidak lepas dari dosa."
Hatiku trenyuh mendengar ucapan Rumi.

Kuulurkan tangan untuk menyentuh pipinya

"Jadi mas juga udah dimaafkan karena tadi lupa?"

Mata Rumi membelalak dan kini dia mengerucutkan bibirnya lagi.

"Ehmmm masih ngambek."

Dia tampak menggemaskan saat mengatakan itu. Dia bisa menjadi dewasa tapi sedetik kemudian menjadi kekanakan. Tapi aku suka dirinya.
Semoga aku bisa menjadi seperti dirinya. Tapi semua itu butuh proses. Karena aku masih berada di dua sisi baik dan jahat.

"Ehm jadi biar gak marah suruh ngapain masnya?"
Rumi kini mendekat dan menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Diusap kepalaku sampai aku bobok."

Tentu saja ucapannya itu membuat aku tersenyum. Kukecup keningnya dan dia memejamkan mata.

Bersambung

Sorry lagi nunggu makanan datang jadi ketik..

Sorry lagi nunggu makanan datang jadi ketik

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di isengin mas bojo. Hadeh. Ya sudah moga suka walau dikit. Mau makan duluuuu...selamat makan

*SUAMI RASA SAHABAT*Where stories live. Discover now