Prolog

163K 8.5K 147
                                    

Aku merasa mual

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku merasa mual. Rasa itu tidak bisa aku tahan, mencoba untuk mengalihkan rasa ini aku mencoba untuk menghirup udara. Tapi sepertinya tidak menolong.

Suara tegas seorang pria langsung membuatku menoleh ke arah sampingku. Dia ada di sana... suamiku.

"Kenapa?"
Alis matanya yang tebal bertaut. Seperti tidak suka aku sejak tadi terus menunduk. Padahal harusnya aku mencoba untuk tersenyum meski semuanya tidak bisa aku lakukan.

"Aku mual.."
Akhirnya aku mengatakan itu. Rasa yang sudah aku tahan sejak tadi memang sudah sampai ambang batas. Zain menatapku dengan pandangan tidak suka. Aku tahu ini menyalahi aturannya.

Tapi kemudian dia beranjak berdiri setelah sebelumnya meminta ijin dengan sopan kepada semua orang yang ada di sekitar kami. Tepatnya di tengah keluarga besar Zain.

Aku bisa melihat tatapan tidak suka dari Bu Ratna mertuaku, mamanya Zain. Beliau tampak mencela karena telah membuat anaknya merusak suasana.

Zain mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.

"Maaf."
Aku akhirnya menunduk dan meminta maaf kepada semua orang. Zain langsung merengkuh pinggangku, yang membuat tubuhku langsung kaku. Ini kontak fisik pertamaku dengan Zain setelah dia menikahiku.

Dengan mengucapkan permisi, dia menuntunku untuk melangkah meninggalkan ruang keluarga rumah Zain ini. Lantai marmer berwarna putih kini terasa makin dingin di telapakku. Rumah yang sejak pertama membuat aku menggigil. Mewah dan jauh tak terjangkau untukku.

Zain membukakan pintu kamar mandi yang ada di sebelah dapur. Kamar mandi yang juga sangat besar, ada bathub berbentuk oval di pojok kamar. Interiornya juga sangat berkelas, warna putih bersih mendominasi kamar mandi ini.

Rasa mual kembali menderaku. Akhirnya aku menunduk di atas wastafel dan memuntahkan semua isi perutku. Yang sangat sedikit karena sejak pagi aku memang tidak makan apapun. Terlalu tegang dengan situasi ini.

Aku langsung menyalakan kran dan membersihkan semuanya. Saat menegakkan tubuh aku menoleh ke ambang pintu dan terkejut Zain masih berdiri di sana.

"Mas.."
Saat aku mulai membasuh mulutku yang basah dengan ujung hijabku Zain melangkah mendekatiku. Dia mengulurkan sapu tangan.

"Kita pulang."

Aku menerima sapu tangan warna putih itu dengan canggung, lalu mengamati Zain yang melangkah mendahuluiku keluar dari kamar mandi.

Zain Hamizan. Pria yang dua hari lalu menikahiku karena wasiat dari Mas Danu.
6 bulan yang lalu Mas Danu meninggal karena kecelakaan mobil. Kejadian itu membuat aku terpuruk karena baru 2 hari kami menikah. Tapi Zainlah yang membantu semuanya. Karena dia juga yang mendampingi Mas Danu di saat terakhirnya.

Awalnya aku memang berpikir Zain memang sahabat Mas Danu yang sangat akrab. Sehingga saat Mas Danu meninggal, dia yang mengurus semuanya. Ibu Mas Danu, bunda Nita juga sangat berterimakasih dengan kehadiran Zain. Bagaimanapun juga Mas Danu hanya tinggal memiliki seorang ibu yang sudah tua. Keluarganya juga sama sepertiku sudah tidak ada.

Lama setelah itu. Tepatnya 6 bulan kemudian, di saat aku mencoba bertahan hidup dengan merawat bunda Nita yang jatuh sakit Zain datang dengan berita mengejutkan. Dia menyampaikan wasiat Mas Danu,yang ingin Zain menikahiku. Istri dari sahabat yang sangat disayanginya. Aku dilema, tapi akhirnya aku berada di sini. Menikah dengan orang yang belum aku ketahui dengan baik hanya demi Zain bisa membantuku merawat Bunda Nita dan memenuhi wasiat Mas Danu meski aku masih belum bisa sebenarnya. Setahuku Zain itu pria yang sangat taat dan irit bicara.

"Tapi mas...gak enak sama mamanya mas. Ini acara untuk merayakan pernikahan mas.."

Aku menghentikan langkah dan Zain langsung membalikkan tubuhnya.

"Semua demi kamu Rumi."

Hanya itu yang diucapkannya. Lalu dia mengulurkan tangan untuk menggandeng tanganku. Menarikku untuk kembali ke ruang keluarga.

Belasan pasang mata langsung menatap kami.

"Ma, maaf. Zain dan Rumi mau pamit pulang. Rumi gak enak badan."

Ucapan Zain di sebelahku membuat Bu Ratna langsung menatapku dengan tidak suka. Aku sadar, keluarga Zain masih belum bisa menerimaku. Seorang janda miskin. Sedangkan Zain sendiri adalah putra tunggal di keluarga yang kaya.

"Kalian kan janji nginap di sini."

Bu Ratna mengatakan itu. Tapi membuat Zain malah melingkatkan lengannya di bahuku. Hal itu membuat aku berubah kaku. Hari ini Zain terus melakukan hal itu.

Aku kembali menunduk, tidak mau memicu pertengkaran ibu dan anak.

"Rumi butuh istirahat ma. Di sini terlalu rame. Besok kalau Rumi udah sehat, Zain janji akan menginap."

*****

Aku duduk resah di tepi kasur. Setelah pulang dari rumah keluarga Zain, kami memang tidak saling bicara. Aku menatap rumah sederhana yang aku sewa dengan Mas Danu.

Aku dan Mas Danu hanyalah orang sederhana. Mas Danu bekerja sebagai karyawan bagian marketing yang kebetulan perusahaan milik keluarga Zain. Sedangkan aku sebelum menikah dengan Mas Danu hanya seorang karyawan toko kelontong. Sejak kecil aku yatim piatu, besar di panti asuhan.

Alhamdulilah, ibu pantiku mengenalkanku dengan seorang pria yang ingin bertaaruf dan serius mencari istri. Mas Danu meminangku dan menikahiku. Aku sangat bahagia saat itu. Tidak mempermasalahkan apa pekerjaan Mas Danu.

"Bunda udah tidur?"

Pertanyaan itu mengagetkanku. Aku melihat Zain yang baru saja melepas peci dan sarungnya. Dia baru saja ikut shalat berjamaah di masjid dekat rumah.

"Udah. Tapi bunda sepertinya harus rawat inap di rumah sakit mas."

Aku menatap Zain yang kini mengacak rambutnya dan duduk di ujung kasur. Jauh dariku. Aku sedikit ragu saat Zain mengatakan akan tinggal di rumah kecil ini. Karena bunda Nita tidak mau diajak pindah ke rumah Zain. Tapi selama dua hari ini Zain bisa beradaptasi dengan baik.

"Aku akan urus semuanya," jawab Zain yang kemudian menepuk-nepuk bantal. Dia memang hanya bersikap lembut di depan orang. Kalau berdua dia berubah dingin. Bahkan setelah ijab qobul kemarin, dia hanya mengecup keningku dan tidak terjadi apa-apa lagi. Karena setelah itu aku dan Zain sibuk merawat bunda yang drop kondisinya.

Dia beranjak berdiri lagi dan mengambil ponsel yang ada di atas nakas. Aku hanya bisa diam. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Pria di sampingku ini masih begitu asing.

"Kita bawa bunda ke rumah sakit."

Zain memasukkan ponsel ke saku celananya. Lalu menatapku tapi kemudian dia mengernyit.

"Kamu juga harus periksa Arumi."

Zain pergi begitu saja setelah mengatakan itu. Kuhela nafasku, bisakah aku meneruskan pernikahan ini?

Bersambung

Cerita baru lagi. Semoga kalian suka.

*SUAMI RASA SAHABAT*Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang