Part 10 Untukmu

76.5K 8K 208
                                    

Zain pov

"Bukan dari gigi kamu. Semuanya bagus kok."
Aku hanya mengangguk muram ke arah Kafka. Pagi ini aku memang menemuinya. Sebagai sahabat dan juga dokter pribadiku untuk masalah gigi.

Migrainku memang sering kambuh karena aku ada masalah dengan gigi sejak dulu. Bukan karena ada yang berlubang atau apapun tapi gigiku terlalu sensitif kalau tersentuh sesuatu yang keras, panas atau dingin. Dan akan berefek kepada sakit kepalaku.

"Tapi sakitku kemarin.."
Aku menghela nafas dan kini meraup wajahku dengan tangan. Duduk di depan meja kerja Kafka. Dia tampak mengamatiku cermat.

"Lagi ada masalah?"

Kafka selalu tahu apa yang aku pikirkan. Tapi aku menggelengkan kepala.

"Gak. Aku bahagia sama hidupku."

Kafka tersenyum. Lalu mengangkat alisnya.

"Aku lupa. Kamu udah punya istri."

Dia menggodaku. Tapi aku membalas tatapannya.

"Iya yang bahagia sama Dek Rahma."

Mendengar itu Kafka kini malah makin tersenyum lebar. Dasar.

******
Aku memainkan pulpen di depanku. Setelah dari klinik Kafka aku kembali ke kantor dan rutinitas kerja yang membuatku lelah sudah menyambutku.
Hanya saja sekilas ingatan kemarin membuatku terhenyak.

Aku merasa nyaman saat Rumi kemarin membuaiku dalam pelukannya. Dia begitu lembut saat merawatku. Dan jantungku berdegup kencang.

Rumi memang manis. Tapi aku tidak mau membuatnya takut. Dia masih suci bagiku. Aku yakin Danu juga belum..

Suara pintu terbuka membuat aku tersadar dari lamunanku.

"Akhirnya kamu bisa ditemui."
Kuhela nafasku saat melihat Natasha melangkah masuk ke dalam ruanganku. Sosok wanita yang sudah akrab dengan ruangan ini sejak dulu.

"Nat..aku sudah tidak ada urusan sama kamu."

Sebenarnya aku merasa kejam mengatakan ini kepada Natasha. Bagaimanapun juga dia tidak bersalah dalam hal ini.

"Kamu jahat Zain."

Natasha kini duduk di depan mejaku. Wajahnya terlihat pucat dan aku tidak tega melihat ini.

"Nat, kita sudah sepakat. Aku dari dulu cuma menganggap kamu adik. Saat mama dan papa menjodohkan kita, aku memang menerima hanya karena tidak mau menentang mereka berdua. Tapi sekarang.."

Aku beranjak dari dudukku dan kini melangkah keluar dari balik meja.

"Aku tahu Zain. Tapi kamu juga tahu kalau aku mencintaimu."

Kupejamkan mata. Mendengar kata cinta sangat menyiksaku.

"Kamu juga mencintaiku kan? Sebelum Danu meninggal, kamu sudah setuju menjalani pernikahan yang diatur ini."

Natasha tampak menggebu-gebu mengatakan itu. Tapi kugelengkan kepala. Aku menatap pintu yang terbuka. Sepertinya hal ini tidak bisa dibicarakan di sini. Terlalu banyak orang.

"Nat.. aku sudah menikah dan.."

"Aku tidak mau tahu. Mama kamu juga tidak suka kan sama jandanya Danu itu."

Mendengar nama Rumi disebut aku langsung bereaksi. Dia istriku dan aku harus melindunginya.

"Keluar dari ruanganku sekarang juga."

Natasha tampak menatapku dengan penuh kebencian. Tapi dia segera beranjak dari duduknya. Lalu menghentakkan stilettonya. Terdengar memekakan telinga.

Kuraup wajahku dengan tangan. Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menghadapi ini.

*****

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang, meski pekerjaanku masih menumpuk. Aku butuh melihat Rumi.

"Assalamualaikum."

Aku terlalu khawatir meninggalkan Rumi di apartemenku ini. Bagaimanapun mama juga masih bisa mendatanginya lagi. Seperti tempo hari.

"Waalaikumsalam. Owh udah pulang mas."

Rumi tampak tersenyum canggung saat dia menghampiriku.

Sejak pertanyaanku kemarin yang mengatakan kalau aku tidak mau menjadi pengganti Danu, Rumi tampak tertekan. Aku terlalu cepat mengambil sikap.

"Bunda tadi mampir ke sini mas. Diantar Mbak Wati sama mbak Diah."

Rumi menyebutkan dua perawat yang aku sewa untuk bunda. Aku hanya menganggukkan kepala dan kini melepas dasiku. Lalu duduk di sofa. Tubuhku masih belum sehat sepenuhnya.

"Sekarang udah pulang?"

Rumi menganggukkan kepala dan kini duduk di sebelahku.

"Mas udah sehat?"

Dia menatapku dari balik bulu matanya yang lentik. Rumi cantik dan manis.

Aku hanya kembali mengangguk. Rumi tampak gelisah menatapku.

"Ya udah Rumi mau nerusin bersih-bersih dulu."

Saat dia akan beranjak dari duduknya kuulurkan tangan untuk menyentuh lengannya. Rumi tampak terkejut dan kini menoleh ke arahku. Pipinya merona merah.

"Temani aku."

Aku juga tidak tahu harus mengatakan apapun lagi. Rumi mengangguk patuh. Tapi dia kembali menunduk.

Aku berdehem dan kini memijat pelipisku.

"Mas pusing lagi? Mau Rumi pijit?"

Dia sudah mengulurkan tangan untuk menyentuh kepalaku. Dia bertindak cekatan. Bahkan malu yang dia tampakan kini sudah tidak terlihat lagi.

"Sini Rumi pijat."

Aku hanya diam saat jemarinya menyemtuh kepalaku. Dan memijatnya dengan begitu lembut.

"Udah periksa belum?"

Aku kembali mengangguk.

"Terus dokter bilang apa? Mas itu gak boleh bandel. Kalau sakit ya bilang ama dokternya."

Kenapa omelannya terdengar begitu merdu untukku?

Aku membuka mata dan kini melihat Rumi berada di dekatku persis. Saat itulah aku tidak bisa menahan lagi.

Kuulurkan tanganku ke pipinya yang membuatnya terkesiap. Lalu kecupan itu terjadi begitu saja. Manis.

Bersambung.

Di sini Kafka masih muncul terus sebagai sahabat Zain ya. Senang kan kalian..

*SUAMI RASA SAHABAT*Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang