Part 1

26 1 0
                                    

Panas terik sang mentari bukanlah penghalang semangat gadis mungil yang kerap disapa Rin. Dia tetap berjalan lurus mencari ruang kelas barunya.

Rinneta adalah mahasiswa baru di University of Art yang merupakan universitas seni terbaik di kotanya. Menjadi kebanggaan tersendiri bagi Rin, dapat masuk dan bergabung dengan Fakultas Satra hanya bermodalkan otaknya yang diatas rata-rata, karena hampir seluruh mahasiswa disini adalah anak konglomerat atau pejabat yang memiliki jabatan tinggi.

Setelah beberapa saat menyusuri koridor akhirnya Rin menemukan kelasnya. Didepan sana ia melihat seseorang yang tak asing baginya. Ia pun tersenyum lebar dan berniat menghampiri. Belum sampai 5 langkah ia berjalan, perasaan asing yang merayap menghentikan langkahnya. Sejujurnya perasaan ini telah ada sejak ia turun di halte tadi, tapi saat ini perasaan itu menjadi lebih kuat. Memastikan perasaannya, Rin menoleh kebelakang, tak ada apapun atau siapapun selain mahasiswa berlalu lalang. Mengedikkan bahunya acuh Rin kembali fokus, mungkin hanya perasaannya saja. Tiba-tiba seseorang muncul di depannya saat Rin berbalik, sontak membuat kaget dirinya.

.

.

.

Kepergian sang ayah tidaklah membuat perasaan Kenya tenang. Sembari duduk menopang dagu dikedua tangannya, menatap meja seakan ingin melubanginya, otak Kenya berpikir keras apa yang ayahnya rencanakan kali ini. Setelah sebelumnya ia dibuat sulit bergerak selama 2 minggu, seusai mengikuti pelatihan gila dari salah satu pengawal suruhannya.

Farel tau Kenya sedang gelisah walau wajahnya selalu tertutup masker. Cukup melihat matanya Farel tau bahwa Ken saat ini kalut dan bingung. Ia jadi kasihan dengan meja didepan Kenya, kalau meja itu bisa bicara pasti akan mengeluh kegerahan ditatap setajam itu.

"Ken tenanglah, kita pikirkan masalah ini bersama. Kau tau benar bagaimana sifat ayahmu." Kenya menatap Farel aneh.

"Yah, kau tau, maksudku dia selalu aneh dan bersikap semaunya jadi kita cukup turuti apa perintahnya, benar kan?" Farel mengusap belakang kepalanya dan tersenyum kikuk. Kenapa Ken harus menatap ia begitu, apa aneh kalau ia menjadi bijak padahal dirinya memang terlahir bijak, huh.

Kenya berdiri mengambil tasnya lantas berjalan meninggalkan Farel yang masih salah tingkah akibat tatapan anehnya.

"Kau masih mau disana atau ikut aku Rei."

"Hei tunggu aku, dasar anak nakal" Farel segera beranjak mengikuti Kenya.

"Padahal aku sedang mencoba membantumu, setidaknya ucapkan "terimakasih Farel sahabatku yang baik" atau mungkin terimakasih saja cukup untukku, mengingat dirimu yang tidak pernah mengucapkan hal semacam itu." Bergaya seolah tengah menimang pilihan membuat Kenya menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, tapi dibalik masker sebenarnya bibir Ken sedikit tersenyum. Farel selalu berhasil membuat moodnya membaik disaat seperti ini,

"Kenapa kau tidak menjawabku? Apa bibirmu membeku lagi?" atau mungkin tidak.

"Hn." Hilang sudah pujiannya untuk Farel.

.

.

.

"Rin, ada apa?, kau tidak mendengar aku memanggilmu dari tadi?"

"Maaf Manda, aku terlalu takjub dengan keindahan bangunan ini jadi tidak mendengar panggilanmu, maaf." Aku sedikit membungkuk sebagai tanda permintaan maaf.

"Begitu, sudah lama aku tidak melihatmu Rin, aku sungguh rindu padamu. Hey lihat ini baru beberapa minggu tapi badanmu sudah mengecil, apa kau tidak makan hah? Bukankah sudah kubilang untuk makan yang banyak walau aku tidak ada, kau ini masih belum berubah ya. Bagaimanapun aku senang bertemu denganmu lagi Rin." Manda menggoyangkan bahuku memeriksa sebelum akhirnya memelukku, ia masih sama cerewetnya seperti 2 minggu lalu.

Just Have to Get YouWo Geschichten leben. Entdecke jetzt