Hanya Sebuah Kisah

142 8 7
                                    


Fira mulai menangis, balita itu hanya sendiri. Menyaksikan kekejaman dinding yang terus membisikinya sesuatu, "Jangan menangis."

***

Nenok akhirnya terbangun, dan mendapati Fira sedang menahan tangis menatap kosong ke sembarang arah. Anak itu ketakutan, kalimat yang dipelajarinya selama beberapa bulan ini, lenyap tak bersisa. Matanya bengkak.

Nenok menyadari, Basyir dan pisaunya menghilang. Dipeluknya Fira dengan erat dan mulai menangis kebingungan.

"Kamu pembunuh!" Suara dari dinding berbaur dengan teriakan Basyir.

"Pa?" Nenok melirik dinding yang memancarkan aura aneh, bulu roma pun merinding semaunya. "Papa? Tolong!!!" teriaknya tersadar dan lekas memukuli dinding.

Dinding itu terasa lembek, dengan pergerakan aneh di dalamnya.

Bergegas Nenok mengangkat Fira dan berlari keluar.

"Berhenti, pembunuh!" cegah suara dari dinding.

"Aku bukan pembunuh!" Nenok berteriak histeris, Fira pun mulai menangis.

***

Kini Nenok menatap pohon tua di depan rumah, Fira yang tertidur dalam pelukannya tampak nyenyak.
Bulan, tepat berada di atas kepala, purnama pun menjadi saksi kisah malam ini.

Tak ada siapapun yang melewati jalan setapak. Tempat ini benar-benar lengang. Sesalnya semakin menjadi, pun mulai menyalahkan diri sendiri akan lenyapnya Basyir.

Seolah terhipnotis, dinaikinya tangga pendek yang dibawa dari dalam rumah dan mengulurkan tali tanpa rasa takut.

Nenok pun memutuskan hendak mengakhiri hidupnya dan Fira.
"Bagus." Bisikan itu semakin menjadi, saat dua insan yang tak sadarkan diri, menangis dalam kesakitan.

Fira kini terkulai lemas, mata merahnya seolah berteriak. Jerat tali itu menjadi saksi. Nenok pun, hanya bisa pasrah saat kakinya tak lagi menapak bumi.

***

Masa kini, 2007.

"Rumah di tengah sawah pun pada akhirnya hanya menjadi sebuah misteri, karena itu kakak tidak pernah mau kamu atau siapapun membahas hal ini." Fajar menyerahkan segelas susu di tengah ceritanya.

"Jadi itu rumah kita? Om Darma bilang kalau orangtua kita hanyut di laut?"

"Dan kamu percaya?" Fajar menganggapi.

Fitra menggeleng lemas, ditatapnya Fajar lamat-lamat. Bibirnya pun bertanya, "Terus siapa pemilik kunci rumah itu sekarang?"

"Entah lah! Mungkin sudah hanyut."

"Kenapa kakak tahu dengan rinci, semua tentang kisah itu?" Fitra mulai menginterogasi.

"Karena aku bisa melihat masa lalu, Fit."

"Hah? Kok bisa?" Fitra tak percaya. Candaan Fajar terlalu mainstream baginya.

Fajar hanya tersenyum, dilihatnya jendela kamar rumah sakit. Sesekali menghela napas kuat.

"Terus soal Santi yang kulihat meninggal? Hantu seseorang di jendela? Dan keanehan lainnya? Itu apa, Kak?"

"Mimpi. Mungkin...."

"Jadi, apa aku bisa melihat masa depan?"

"Entah lah." Fajar menggeleng dan tersenyum ke arah sofa rumah sakit.

Fajar mengangkat kepalanya, memberi isyarat agar Fitra menengok ke arah sofa.
"Untuk sekarang, kamu harus lebih hati-hati," ujar Fajar tiba-tiba.

"Kenapa?" Fitra menoleh dan mendapati wajah pucat seseorang seperti dalam mimpinya.

"Bukankah sudah kukatakan, agar tak mengunjungi rumah di tengah sawah. Siapa pun yang ke sana tanpa ijin kita, maka akan meregang nyawa." Fajar berucap sembarang. Berjalan menuju pintu.

Gadis bermata matahari sedang duduk memandangi Fitra penuh kekesalan--Santi.

"Kubunuh kau!!!" Santi berteriak di hadapan wajah Fitra. Tepat setelah Fajar pergi.

Fitra menutup telinga, mengabaikan jiwa gentayangan di depan sana. Teringat, dirinya yang menantang Santi dan tak percaya hal yang dikisahkan gadis itu.

Fitra kembali berbaring dan menahan rasa ingin tahunya. Ia, mengerti. Ada sesuatu antara kakaknya dan rumah di tengah sawah. Sesuatu yang sebaiknya tak perlu diselidiki lebih jauh dan biar saja menjadi misteri.

****

Tamat

***

Terima kasih sudah mampir ya... Tinggalkan vote dan commentnya.

Rumah di Tengah Sawah (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang