2

33 4 0
                                    

   Nera mengerjap beberapa kali, berusaha menyesuaikan mata dengan cahaya. Awalnya mata Nera terasa perih, lama-lama terbiasa.

   Begitu sadar sedang berada di antah-berantah, ia terpekik pelan sambil menutup mulut. Kakinya refleks menendang-tendang tanah dan akhirnya Nera terdorong ke belakang. Punggungnya menabrak pohon besar sampai beberapa daun terlepas.

   Tiba-tiba ada suara gesekan daun di belakang Nera. Gadis itu melirik tanpa menggerakkan kepala. Setelah beberapa detik ia berlari entah ke mana, yang penting jauh dari pohon tersebut.

   Nera berlari di jalan setapak. Pohon-pohon besar mengapit jalan itu, pelit memberikan ruang bagi makhluk lain. Selama menembus suramnya hutan cahaya sulit didapat, kadang hanya setitik cahaya berhasil menembus sampai tanah, atau cahaya remang tertutup daun-daun.

   Cukup lama ia di sana sampai akhirnya menemukan ujung bercahaya. Sang gadis menutup mata kala berlari ke arah tempat tersebut.

   Tepat setelah itu, angin berembus menerbangkan dedaunan juga membelai rambut hitam bergelombang sedada milik Nera. Mata gadis itu membulat saat melihat sekitar.

   Indah ..., begitu indah.

   Langit biru cerah dengan beberapa awan berarak ditambah semburat merah, ungu, biru tua, kuning, yang berkilauan di langit. Padang rumput tidak begitu luas diisi makhluk-makhluk kecil bersayap yang terbang bersama grupnya. Ada beberapa bunga tumbuh di tempat tersebut, bentuknya indah sekali.

   Perlahan gadis itu berjalan ke depan sembari mengagumi keindahan tempat itu.

[\|/]

   Di ujung tebing, terdapat seseorang tengah duduk menatap bunga kecil yang tumbuh di depannya. Terlihat seperti menatap tetapi kalau dilihat lebih jelas, ia hanya menatap kosong, tanpa terlihat jiwa di mata berwarna ungu itu.

   Penampilannya tampak lusuh; rambut acak-acakan, pakaian dipenuhi bercak tanah, bertelanjang kaki. Nera sempat mengira orang itu patung sebelum berjongkok di sebelahnya kemudian memandangi wajahnya dari samping.

   Orang itu melirik sang gadis, membuatnya terkejut dan hampir mendorong tubuh ke ujung tebing. Tak lama, orang itu kembali melihat bunga.

   Merasa bodoh, sang gadis menyapa orang itu. "Hai?"

   Ia diam tidak menjawab.

   "Halo? Bisa dengar aku?"

   Tetap tidak menjawab.

   Cukup lama Nera berpikir, tiba-tiba ia menyadari sesuatu saat memainkan rumput.

   "Ah, maaf, kau pasti tidak bisa mendengar, 'kan?" ucap gadis tersebut sembari merasa bersalah walaupun dengan berkata begitu ia sadar terlihat semakin bodoh.

   Bibir pucat orang itu bergerak pelan, menyuarakan ucapan selembut angin berembus kala musim semi. Tentu Nera tak dapat mendengar apa yang dikatakan orang tersebut, yang jelas sekarang ia menatap Nera.

   Benar-benar tidak tampak jiwa di matanya.

   "Uh, hai?" Nera tersenyum simpul.

   Orang itu diam. Benar-benar diam. Rasanya seperti berbicara pada batu.

   Mereka berkontak mata entah berapa lama. Langit semula cerah berubah menjadi keunguan, mungkin langit ingin menyuarakan berapa lama mereka bertatapan. Entah juga apa yang merasuki Nera sampai dirinya tak bisa melepas pandang dari seseorang lusuh ini.

   Peri-peri mulai terbang rendah. Yang semula berkelompok sekarang berpisah. Mereka terbang ke bawah tebing menuju rumah masing-masing. Kepakan sayap peri terdengar menenangkan ..., sangat menenangkan.

   Kedua kelopak mata Nera menjadi berat, kesadarannya mulai hilang.

   Orang yang ditatap sang gadis terbelalak, dengan sigap menahan lengan Nera.

   "Jangan tidur!" serunya.

   Nera tersadar bersama mata terbuka lebar.

RainWhere stories live. Discover now