1

39 4 5
                                    

Suhu udara turun sejak dua hari lalu, tapi Nera malah mencuci muka dari keran di halaman belakang sekolah. Rasanya wajah gadis itu bisa membeku kapan saja kalau tidak segera dilap saputangan.

Dipandangnya langit kelabu lewat mata beriris hijau. Awan-awan tidak memperbolehkan matahari menampakkan diri siang ini. Agak kejam karena banyak yang tidak bisa merasakan siang hangat sejak kemarin.

Bagi Nera, ia lebih suka dingin. Tetapi bukan berarti ia tidak membutuhkan panas. Dunia ini harus seimbang.

Sang gadis berjalan menuju luar sekolah. Direkatkannya jaket karena angin berembus membawa dingin. Untung saja jaket Nera lumayan tebal sehingga dingin tidak menembus kulit.

Saat berjalan, tak sengaja ia mendengar percakapan dua gadis di depannya.

"Ingat tidak kejadian sebulan lalu?" tanya gadis dengan rambut panjang bergelombang. Gadis di sebelah menggeleng.

"Yang tiba-tiba hilang. Waktu itu cuacanya begini juga kan?" ucap gadis itu lagi lalu Nera menajamkan pendengaran.

Gadis berambut sebahu di sebelahnya berusaha mengingat. Tiba-tiba ia menepuk tangan. "Oh, oh! Senior Elton menghilang itu ya!"

Selama ia bersekolah, belum pernah dirinya mendengar hilangnya kakak kelas. Entah gadis itu yang tidak peduli sekitar atau kurang memperbarui informasi. Nera ingin mendengar lebih lanjut tetapi mereka beda arah pulang. Ia seperti menguping pembicaraan orang.

Jalan sepi, bahkan saat sang gadis menengok ke belakang dua gadis tadi sudah hilang. Rumah-rumah tampak sepi, toko-toko juga memajang tulisan tutup di pintu. Aneh juga, biasanya ketika Nera lewat sini mereka buka.

Saat berjalan tidak sengaja sang gadis menginjak sesuatu. Ia membungkuk dan menemukan permata merah berbentuk lonjong pipih. Diambil dan diarahkan permata itu ke langit. Permata itu tembus pandang dan tiba-tiba benda tersebut bercahaya.

Terbentuklah sebuah tembok transparan entah dari mana di hadapan Nera. Tembok itu seperti kaca tetapi berpijar warna-warni, tingginya mencapai langit dan sangat lebar.

Sang gadis terdiam, jantungnya berdebar kencang. Ia kaget ketika tembok itu bergerak menembus dirinya secara cepat. Ketika melihat ke belakang tembok tadi sudah hilang.

Hujan turun tanpa gerimis. Nera memakai tasnya sebagai payung, ia merasa bodoh tidak membawa benda tersebut padahal tadi pagi ibu menyuruh.

Angin semakin keras menerpa Nera. Gadis itu berusaha melawan gertakan angin, sayangnya ia tidak cukup kuat untuk menahan pijakan di medan licin. Alhasil Nera terombang-ambing lalu terdorong kuat ke belakang.

Hal terakhir yang ia ingat adalah rasa begitu nyeri dari punggung sampai kepala. Kesadarannya hilang.

RainWhere stories live. Discover now