5. Naik Kelas

231 5 5
                                    

"Pintu depan tingginya mau berapa meter, pak?"

"Itu sudah bapak tulis di bagian belakang."

Aku kembali meneruskan proses mendesain bangunan rumah yang sudah bapak tulis spesifikasinya. Memang beberapa bulan lalu aku hanya bisa bermain game. Tapi hidup harus berproses, dari muda menjadi tua, dan dari tidak bisa menjadi bisa. Dan akhirnya aku bisa melakukan apa yang pernah aku janjikan kepada bapak. Walaupun awalnya aku tidak bersungguh-sungguh, tetapi setelah mendengar komputer ini akan dijual jika tidak produktif, mau tidak mau aku pun harus belajar.

***

Rasanya memang baru beberapa bulan, tetapi jika dihitung hasilnya lebih dari dua belas. Aku sekarang sudah naik kelas. Di kelas 8, siswa akan dipindah secara acak. Aku pun dipindah dari kelas 7B ke kelas 8D.

Di kelas baru aku bertemu banyak wajah lama yang belum aku kenal. Aku merasa asing ditengah banyak teman yang sebenarnya aku sudah tau siapa mereka.

"Eh, Dit!" seorang gadis menyapa.

"Iya, kamu tahu namaku?"

"Saat pelajaran komputer pak Ahmad sering bercerita tentang kamu." jawab gadis tersebut.

Isi kepalaku berpikir, sepertinya aku mengenal dia. Tapi siapa dia? Ah, pikiranku buntu.

"Aku seperti mengenal kamu? Siapa ya?" tanyaku.

"Aku Nita, Anita kelas 7A."

"Oh iya, aku ingat! Wah, sekarang satu kelas."

Karena jumlah murid di sekolah ini hampir seribu lebih, maka tak heran jika ada yang tidak mengenal satu sama lain walaupun sering bertemu saat upacara, senam pagi, atau saat berebut nasi rames di kantin. Firman yang selalu menemaniku saat berada di kelas 7B, sekarang dipindah ke kelas 8G, kelas dengan urutan abjad paling akhir. Sebenarnya pertemananku dengan Firman tidak terlalu dekat, tidak seperti aku dengan Anam yang memiliki ikatan emosi. Ya, Anam memang sering membuatku emosi.

Hari semakin siang, jam pelajaran biasanya dimulai pukul 7 pagi. Beberapa siswa sudah masuk dan duduk dengan rapi. Sisanya masih di kelas lama, memang sulit berpisah dengan sahabat yang sudah menemani selama setahun belakangan. Aku duduk semeja dengan Anita, dia yang memintaku untuk duduk bersamanya. Namun, aku harus pindah karena ada seorang teman, tentu saja teman Anita, yang memintaku untuk pindah meja. Aku setuju.

Sekitar pukul 11, pak Ahmad masuk kedalam kelas. Lalu ia memberikan sambutan singkat dan mengumumkan bahwa dia akan menjadi wali kelas 8D, wali kelas kami yang baru.

"Baik, sekian untuk pertemuan hari ini. Silahkan satu siswa perwakilan, untuk mengambil jadwal pelajaran yang baru di kantor guru."

Dengan sigap Anita berdiri, berjalan mengikuti pak Ahmad pergi ke kantor guru. Beberapa saat kemudian, Anita kembali dengan membawa selembar kertas. Ia mengambil spidol dan menulis jadwal pelajaran yang baru di papan tulis.

Aku melihat hal yang menarik, ada pelajaran yang aku sangat sukai, namun dengan nama yang berbeda. Pengantar Internet, hari Kamis jam 8 pagi sampai jam 9 lebih 30 menit.

Setelah selesai menyalin jadwal pelajaran yang baru. Kami seluruh siswa disuruh untuk berkumpul di lapangan. Kepala sekolah memberikan sambutan dan mengumumkan bahwa class meeting akan dimulai besok. Ini memang kegiatan yang rutin dilakukan sehabis libur semester, semua kelas diminta untuk menyiapkan tim untuk lomba futsal, basket, dan menyanyi. Saat pengumuman sudah selesai, seluruh siswa kembali ke kelas masing-masing.

Tak lama setelah itu pak Ahmad masuk kedalam kelas. Dia menunjuk siapa saja yang akan mewakili kelas untuk ikut lomba pada acara class meeting. Beberapa teman sekelas sudah ditunjuk dan langsung membentuk tim futsal dan basket, mereka tampak sangat antusias.

"Dit, kamu ikut lomba menyanyi, ya?"

Entah apa yang dipikirkan pak Ahmad sehingga ia memilihku. Aku terkejut.

"Eh iya, pak. Tapi lagu apa?" tanyaku.

"Bebas, kamu yang pilih sendiri."

Aku masih terkejut, tidak ada kata lain yang terlintas di kepala selain kata: Gawat!

***

Selain tidak bisa bernyanyi, aku juga seorang yang pemalu. Aku terus membayangkan diriku disoraki oleh teman-teman satu sekolah. Betapa malunya diriku.

"Kak, lagu yang mudah untuk dinyanyikan apa?" tanyaku kepada kakak yang sedang menyeduh teh.

"Gula dimana ya, Dit?"

"Kak, jawab!"

"Soal lagu, kamu nyanyikan saja lagu Darah Juang, Dit."

"Lagu itu? Yang sering kakak putar?"

"Iya, lagu karya John Tobing. Kamu harusnya sudah hafal jika saat kakak memutar lagu itu, kuping kamu tidak ditutupi."

"Baiklah. Kasetnya dimana, kak? Aku mau mendengarkan lagi supaya lebih hafal. Besok ada lomba menyanyi."

Kakak sedikit terkejut saat mendengar kalimat terakhir yang aku ucapkan.

"Oh, iya. Kasetnya di atas lemari TV." jawab kakak sambil menahan tawa.

Memang selera musik kakakku sedikit aneh, dia lebih suka musik beraliran rock, punk dan metal disaat orang lain lebih suka mendengarkan musik pop atau dangdut.

***

"Selanjutnya, Dita Suciana dari kelas 8D. Silahkan untuk naik ke atas panggung!"

Kakiku sedikit gemetar, aku sangat gugup. Ada rasa aneh yang aku rasakan, perutku tiba-tiba terasa mulas. Tetapi aku tidak peduli, aku harus naik ke atas panggung.

"...Saya akan menyanyikan lagu yang berjudul Darah Juang karya John Tobing."

Semua orang diam, seakan tidak tahu apa yang aku katakan. Aku memberikan kaset yang aku pinjam dari kakak untuk diputar sebagai musik pengiring.

Saat aku mulai bernyanyi. Semua orang diam, kecuali aku dan musik yang mengiringi. Aku tetap melanjutkan, walaupun penonton yang berisi guru dan siswa seolah terheran dan tak mengerti.

Saat aku sudah selesai bernyanyi, semua orang masih juga diam. Tiba-tiba ada suara tepuk tangan yang tidak terlalu keras tetapi sangat menonjol ditengah keheningan. Aku coba mencari asal tepuk tangan itu. Aku melihat Anita bertepuk tangan dengan semangat dan sesekali mengacungkannya jempol.

Juri bingung, aku pun bingung melihat para juri bingung.

Titik Masalahnya Adalah TitikWhere stories live. Discover now