2. Mengenal Komputer

494 11 4
                                    

Kembali ke masa ketika aku masih duduk di kelas 5 sekolah dasar, aku mencoba mengais-ngais ingatan dan kenangan. Mencoba mengurutkan dan menyusunnya kembali. Beberapa kisah tidak aku tulis persis seperti apa yang terjadi, aku tidak menjamin kisah ini akan menarik. Karena, tujuan utama aku menulis buku ini hanyalah sebagai pengingat atau penegur jika kelak aku melampaui batas.

Aku membayangkan buku ini berkata, "Dita Suciana! Kau dulu juga pernah dibawah, berbaik hatilah, dan jangan pernah kau busungkan dadamu itu."

Bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Jika benar buku ini bisa berbicara, bisa-bisa buku ini jadi viral. Bukan karena isi tulisannya, apalagi karena penulisnya. Aku merinding karena takut buku ini membocorkan rahasiaku, yang setiap menulis hanya menggunakan kolor!

Aku segera sadarkan diriku dari bayangan seram itu, dan segera melanjutkan menulis kisah ini kembali.

***

Saat itu aku masih seperti anak desa pada umumnya, bermain dengan alam. Sungai dan sawah adalah taman bermain favorit aku dan teman-temanku. Alam menyediakan semuanya. Saat bermain, aku hanya berbekal nasi yang di bungkus dengan daun pisang. Lauknya? Ada ikan dan belut yang bisa diambil kapan saja. Tidak ada dari temanku yang membawa uang sepeserpun, karena untuk apa membawa uang. Di sawah tidak ada warung atau minimarket.

Pernah suatu ketika, aku dan temanku yang bernama Anam merencanakan sebuah petualangan. Mencontoh dari apa yang kami lihat di televisi. Kami menyusun rencana, lengkap dengan rute dan rencana cadangan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Saat penyusunan tersebut, kami disaksikan oleh beberapa teman, yang tentu menolak untuk ikut. Aku dan Anam seolah merasa gagah dan sangat trengginas. Hari berikutnya, tepatnya hari Minggu. Aku bangun lebih pagi. Sesuai rencana yang disepakati, aku pergi ke rumah Anam. Mengetuk pintu dan tidak lupa memberi salam. Yang keluar adalah kakaknya.

"Eh, ada apa, Dit? Anam pergi dari pagi dengan bapaknya, ke Brebes."

Mendengar hal tersebut. Berjuta kata kasar terkumpul di kepala, seolah ingin meledak keluar dari mulut ini. Tetapi yang keluar hanya satu: Kampret!

Ya, walaupun terkadang menyebalkan. Anam adalah teman terbaik yang pernah aku miliki. Aku banyak belajar darinya. Apalagi mengenai hal yang berbau teknologi, dia yang paling tahu tentang hal ini.

***

"Dit, nanti sepulang sekolah kita bermain game di tempat pak Harun."

"Di tempat pak Harun? Itu tempat PS baru ya?" tanyaku.

"Bukan PS, bermain game di komputer." Anam menjawab.

"Komputer? Bukankah komputer itu untuk bekerja, seperti komputer di sekolah kita itu. Tapi uang sakuku sudah habis. Kamu yang bayar ya."

"Sudahlah, ikut saja." jawab Anam dengan nada kesal karena pertanyaanku yang memburu.

Sepulang sekolah aku dan Anam menuju ke tempat pak Harun dengan berjalan kaki. Tempatnya tidak terlalu jauh dari sekolah.

Tiba disana, Anam segera menuju sebuah bilik. Mirip bilik yang biasa aku lihat diatas sungai, bedanya kami tidak jongkok dan masih memakai celana.

Dengan sigap, Anam menyalakan komputer tersebut. Suara dengung kipas terdengar cukup jelas, dan layar monitor mulai menyala dan menampakan apa yang kami tunggu-tunggu. Kami memainkan 'Game Kodok' bersama-sama. Tentu saja aku selalu kalah.

Aku tidak tahu nama asli permainan yang kami mainkan ini. Hanya karena bertuliskan 'Game Kodok' pada ikon di layar utama, kami lebih akrab menyebutnya demikian. Permainan ini termasuk permainan multi-pemain yang berjenis split-screen yang artinya, satu layar akan di bagi menjadi dua bagian untuk dua pemain. Permainan ini dikontrol dengan keyboard yang memberikan kesan kurang nyaman untuk saya. Walaupun demikian, saya tetap menikmati permainan ini. Karena Anam yang membayar.

***

Hari berikutnya, aku masih penasaran dengan permainan di komputer. Mungkin karena kemarin aku selalu kalah saat bermain dengan Anam.

"Nam, nanti sepulang sekolah kita ke tempat pak Harun lagi ya?"

"Tidak, Dit, aku sedang tidak enak badan." jawab Anam.

Mendapatkan penolakan tersebut, dengan pikiran positif aku mencoba mengerti. Mengerti bahwa Anam takut aku tidak punya uang lagi seperti hari kemarin. Dalam hati aku berkata: "Aku sudah punya uang, Nam, karena hari ini aku tidak jajan." aku hanya tertawa sombong, didalam hati tentunya.

Bel sekolah berbunyi, tanda belajar mengajar telah usai. Aku segera bergegas menuju tempat pak Harun. Mengulang apa yang Anam lakukan kemarin, masuk ke bilik, menyalakan komputer, terdengar suara kipas, dan... Serrrtttt buuppp...

Terdengar suara letupan yang tidak terlalu keras, namun cukup menarik perhatian. Terhirup aroma seperti ada yang terbakar, terdapat asap yang keluar dari kotak hitam yang tombolnya aku tekan tadi. Aku mencoba berdiri, dan melihat disekitar. Semua orang juga berdiri seakan ingin mengetahui apa yang terjadi. Pandanganku berhenti pada orang yang aku sebut kasir, Anam menyebutnya operator.

"Ada apa, dek? Kok bau kabel kebakar?" tanya orang tersebut yang pandangannya mengarah kepadaku.

"Nganu, mas..."

Wajahku sudah dibasahi keringat, kakiku mulai terasa dingin. Jika sempat berkaca, mungkin wajahku sudah pucat. Disaat seperti ini yang aku ingat hanyalah gagang sapu emak.

Titik Masalahnya Adalah TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang