Mau tidak mau, akhirnya Clarissa memilih untuk berganti pakaian. Berjalan ke kamar mandi seorang diri dan mengganti seragam sekolahnya menjadi seragam olahraga.

Usai berganti, Clarissa kembali ke kelasnya untuk menyimpan seragamnya sebelum ia menuju ke lapangan untuk pelajaran olahraga.

*

"Jangan lupa segera temui gadis itu dan katakan niat baik kamu. Segerakan semuanya sebelum apa yang kamu takutkan terjadi. Papa tahu ketakutan kamu. Tapi yakinlah, semua akan baik-baik saja. Kejadian seperti dulu tidak akan terjadi." Pesan Papanya ketika Jati akan berangkat sekolah.

Setelah semalam ia mengatakan semuanya yang berhasil membuatnya mamanya terkejut. Jati kembali berbicara pada papanya. Ia mengungkapkan yang ada di pikirannya dan segala ketakutannya. Dia menangis di hadapan papanya. Jati takut. Dia takut dengan semuanya.

Pikirannya buntu. Masa lalu dan masa depannya seakan saling bertubrukan yang menyebabkan kericuhan di dalam dirinya.

"Papa tahu kamu bisa. Setiap orang terlahir berbeda. Jangan kamu sama ratakan setiap orang. Karena pada dasarnya, semua orang itu dilahirkan dengan karakter yang berbeda," kata papanya kembali memberikan semangat dan petuah untuk Jati.

Selama perjalanan menuju sekolah, kata-kata papanya merupakan jimat untuknya. Dia terus mengigat pesan itu bahwa dia mampu menghadapi ini semua.

Jati bersyukur, dia punya orangtuanya sebagai sandaran. Jika ingat dulu, Jati tersenyum miris. Tetapi Jati tahu, itu semua pelajaran hidup.

Pelajaran hidup yang akan menjadi saksi bisu hidupnya. Pelajaran hidup yang mungkin hanya sekali seumur hidup dan dia tidak mau lagi. Cukup sekali dia merasakan itu.

Jati sampai di sekolah seperti biasanya. Di parkiran ia berjalan menuju kelas bersama teman-temannya. Sesekali ia menebarkan senyum membalas sapaan orang-orang.

Jati bukan siswa nakal. Standar nakalnya hanyalah seperti laki-laki pada umumya di umurnya yang menginjak 17 tahun.

Dia juga bukan laki-laki pencetak banyak prestasi di sekolah. Dia hanya mencetak prestasi di satu bidang yang begitu dia gemari yaitu catur.

Baginya, papan catur itu seperti dirinya. Jati menggambarkan dirinya seperti papan catur yang berwarna hitam putih. Hitam untuk masa lalunya dan putih yang dia inginkan untuk menjadi masa depannya.

Selain catur, Jati biasa-biasa saja dalam segala bidang. Olahraga? Itu memang kodrat kebanyakan laki-laki untuk pintar dalam hal olahraga. Dan Jati tidak menganggapnya spesial karena hampir semua teman laki-laki di kelasnya mendapatkan nilai A untuk pelajaran olahraga.

Jati tahu bahwa kelebihannya yang lain adalah kelebihan terpendam yang dia miliki. Tidak banyak orang yang tahu tentang hal ini. Karena dia, merasa nyaman untuk menyimpannya sendiri. Dan dalam diam membaginya kepada banyak orang.

*

Usai pelajaran ekonomi, Jati segera melepaskan seragamnya setelah anak perempuan di kelasnya keluar untuk berganti seragam.

Jati mengganti seragamnya dengan seragam olahraga miliknya lalu melepaskan celananya langsung karena dia sudah mendobelnya. Jati bersama dengan Farel, teman sekelasnya, langsung berjalan menuju lapangan olahraga.

Sesampainya di lapangan, mata Jati menangkap anak kelas IPA yang memang biasanya memiliki jam olahraga sama dengannya. Dan Jati baru sadar, kelas itu adalah kelas seseorang yang akan menjadi masa depannya.

Jati bisa melihat perempuan itu tengah melakukan pemanasan bersama teman-temannya. Sampai kemudian anak-anak kelas itu berlari, memutari lapangan yang membuat mata Jati fokus dan jantungnya berdebar cemas.

Dia tidak peduli dengan perempuan itu. Tapi ia peduli dengan bayi itu. Bayi yang belum tentu anaknya dan akan mendapatkan tanggung jawabnya.

"Clarissaa!" teriakan itu berhasil membuat Jati yang bersama teman-temannya menoleh.

Di sana, Clarissa terjatuh. Dan tanpa Jati sadari, dia sudah berlari untuk menghampiri asal teriakan itu.

14 Januari 2017

halou! maaf ini narasi doang hehehe. jangan jadi siders ya. terima kasih untuk semua vote dan komentarnya.

Hypocrites LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang