BAB 15

264K 18.9K 561
                                    

.: Keputusan Berat :.

Clarissa terbangun dari tidurnya dengan napas yang tersengal. Tangannya mencengkram erat sprai kasuralu berpindah untuk mengusap wajahnya. Menghapus keringat yang turun dari pelipisnya.

Mimpi itu seperti nyata.

Clarissa sendiri sampai takut memikirkan mimpi buruk yang baru saja menghampirinya dengan memilih untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu tidak akan terjadi. Sembari mengatur deru napas yang masih tidak beraturan, Clarissa melirik sekitar. Memastikan bahwa semuanya baik-baik saja setelah ia tertidur sepulangnya pergi bersama Jati.

Sudah merasa lebih baik, jemari Clarissa bergerak menuju nakas di sebelah tempat tidurnya, mengambil foto yang baru saja ia dapatkan. Sebuah foto yang menggambarkan keadaan di dalam rahimnya. Setitik gumpalan darah yang pada waktunya akan berubah menjadi sosok berharga di dalam kehidupannya.

Clarissa memang menyesali semua kejadian ini. Tapi dia tidak bisa menyesali kehadiran janin di rahimnya. Janin itu tidak meminta untuk tumbuh di rahimnya. Dan sudah sepatutnya ia tak menyalahkan sang janin yang kelak akan menjadi buah hatinya. Sosok yang akan ia lindungi.

Melindungi?

Clarissa tertawa miris mengigat perkataannya. Dirinya saja tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Bagaimana ia mau melindungi anaknya kelak?

Setetes rintihan penuh kesakitan jatuh dari ujung matanya. Setetes demi setetes, hingga menjadi isakan yang cukup memilukan. Dia menangis seorang diri di malam kesunyian ini. Tidak ada yang pernah tahu betapa ia merasakan kesakitan setiap malamnya. Senyumnya palsu yabg di malam seperti ini, semua topeng itu terbongkar. Yang semula rapuh, semakin terlihat betapa rapuhnya seorang Clarissa.

Mungkin, jika Clarissa sebuah guci, gadis itu akan runtuh tak bersisa karena tersenggol tanpa sengaja. Tapi semuanya, di hidupnya, tidak ada yang namanya sengaja. Clarissa merasa memang garis hidupnya untuk memilukan seperti ini.

Masa bahagianya yang dulu bersama sang papa sudah dirampas dengan dipanggilnya orang yang sangat ia sayangi itu. Seseorang yang ternyata bukan papa bilogisnya walaupun mencurahkan kasih sayang melebihi ibu kandungnya sendiri.

Air mata Clarissa semakin tidak mau berhenti karena memori tentang papanya menyeruak membawanya kembali mengingat masa itu. Bagaimana beliau selalu menggendongnya di saat sang mama menolaknya. Bagaimana beliau membujuknya untuk makan saat Clarissa merasa malas makan. Bagaimana kasih sayang itu ia rasakan dengan tulus tanpa rasa iba sama sekali.

Clarissa rindu papanya.

Jika sudah seperti ini, dia hanya bisa berserah kepada-Nya. Meminta semua kekuatan yang terkadang tumbang karena habisnya pertahanan diri Clarissa.

Semoga Papa bahagia di sana. Clarissa rindu Papa. Dulu Papa selalu gendong aku layaknya pesawat. Tapi, kenapa Papa terbang lebih dahulu? Kenapa Papa terbang tanpa mengajak Clarissa?

Diantara tangisannya, tangan Clarissa bergerak mengusap perutnya. "Saya akan berusaha melindungi kamu."

*

Ruang tamu itu tetap sama. Tidak ada yang berubah. Hanya kedatangan sebuah keluarga yang membuat suasana ini berbeda.

Keluarga Jati hari ini datang ke rumah Clarissa. Banyu dan Weni bersama dengan Jati datang bukan hanya sekadar bertamu. Kedua orangtua Jati ingin menyampaikan maksud sebenarnya untuk sebuah pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan oleh anaknya.

Banyu dengan wibawanya mencoba setenang mungkin. Ini hal pertama yang ia lakukan dan tidak seperti kebanyakan orang karena putranya sudah melakukan kesalahan terlebih dahulu yang tentunya membuat pihak Clarissa yaitu mamanya bisa menganggap dirinya tidak becus dalam mendidik anak.

Banyu sadar diri telah gagal mendidik anaknya. Tetapi, setidaknya dia mengajarkan Jati untuk bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukannya.

Dari tempat duduknya, Lita menatap tamunya dengan pandangan tidak suka. Bagaimana dia bisa suka? Anak dari tamunya yang saat ini juga ada di hadapannya sudah menghancurkan masa depan putrinya. Membuat Clarissa harus mengulang kejadian yang sama dengan dirinya. Kejadian yang benar-benar membuatnya ingin mati saat itu.

"Saya minta maaf sebelumnya. Saya minta maaf selaku orangtua dari Argajati," kata Banyu memulai pembicaraan. Lita hanya menganggukkan kepalanya. Dan tanpa basa-basi, mereka membicarakan masalah pernikahan kedua anaknya. Bahkan, sebelumnya, Banyu sudah berkonsultasi dengan orang yang lebih dalam pengetahuannya mengenai agama tentang pernikahan yang dilakukan dengan pihak wanita hamil terlebih dahulu. Ternyata, pernikahan itu diperbolehkan. Asalkan yang menikahinya adalah orang yang sama dengan orang yang telah menghamilinya dan keduanya harus bertaubat terlebih dahulu dan tidak melakukan hubungan badan selama Clarissa hamil karena memiliki masa iddah.

Kedua belah pihak sudah setuju dengan semuanya. Akad pernikahan akan dilakukan secara sederhana dan Clarissa akan tinggal bersama Jati di rumah laki-laki itu sesuai permintaan Jati. Clarissa diam di tempatnya. Mendengarkan diskusi yang dilakukan mamanya dan kedua orangtua Jati. Sedangkan pada posisinya, Jati sesekali melirik Clarissa. Matanya menelisik perempuan yang sudah ia anggap munafik itu. Dalam dirinya terus bertanya-tanya kapan waktu yang tepat untuk menanyakan segalanya agar semuanya semakin jelas. Dia tidak mau seperti perkataan mamanya. Dia tidak mau terlambat menyesali semuanya. Jati tahu bagaimana rasanya tidak memiliki sandaran. Masa kelam itu benar-benar membuatnya berbeda dengan sosoknya saat ini. Jika tidak ada kedua orangtuanya, pasti dia tidak akan hidup senyaman ini. Dia bisa saja masih merasakan pahitnya hidup di jalanan.

"Saya ingin berbicara berdua dengan Clarissa, boleh?" pertanyaan itu keluar dari mulut Jati saat pembahasan sudah usai. Lita melirik anaknya dan menyuruh putri sulungnya itu untuk menjawab. Clarissa yang melihat tatapan Jati mengangukkan kepalanya.

Berdiri dari tempat duduknya, Clarissa mengajak Jati untuk menjauh dari ruang tamu. Clarissa merasa sedikit lega. Setidaknya dia tidak perlu takut karena Clara tidak berada di rumah. Adiknya itu pergi entah ke mana.

Sesampainya di ruang makan, Clarissa mempersilakan Jati untuk duduk di hadapannya. Mereka duduk bersebrangan di meja makan yang berbentuk persegi panjang.

"Aku ingin bertanya mengenai sesuatu," kata Jati dengan menatap Clarissa melalui dua bola matanya. Laki-laki itu nencoba menilai gerak-gerik perempuan di hadapannya.

Clarissa menganggukkan kepalanya dan kembali menunduk. Tidak memiliki keberanian untuk membalas manik hitam yang kini menatapnya.

"Saat pesta itu terjadi, kamu ada di mana?"

"Aku berada di kamar."

"Lalu kenapa kamu bisa berada di kamar mandi saat aku juga di sana? Apa kamu memberiku minuman?"

"Aku terbangun dan ingin buang air kecil marena toilet di kamarku rusak. Aku tidak tahu kamu ada di sana. Selama Clara mengadakan pesta, aku tidak pernah berani muncul. Bagaimana bisa aku memberi minuman kepadamu?"

Jati menganggukkan kepalanya paham. Ia mencerna jawaban itu dan menghubungkannya dengan jawaban yang ia dapatkan dari Samuel. "Sialan!" umpatnya saat sadar bahwa ini semua memang benar rencana Clara namun tidak tepat sasaran. Gadis itu memang sudah gila. Jati muak dengan Clara. Dalam hatinya, dia terus mengumpat dan ingin mengamuk di hadapan Clara.

Gadis itu menghancurkan masa depannya. Gadis gila itu merusak semuanya dan membuatnya seperti ini.

"Terima kasih," balas Jati tetap dengan nada seperti biasanya. Dia tentu saja merasa bersalah pada Clarissa. Namun, dia tidak mampu mengungkapkan kata maaf. Lidahnya terlalu kelu untuk mengutarakan semuanya.

Jati telah berbuat jahat. Berburuk sangka pada seorang perempuan yang ternyata sama sepertinya. Sama-sama terjebak dalam kegelapan diantara gemerlapnya dunia ini.

10 Februari 2017

makasih udah baca! selamat menikmati. ditunggu bintang, kritik, dan sarannya.

Hypocrites LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang