Seakan mempunyai malu yang sangat besar, mereka pun berpura-pura menyibukkan diri.

"Ya sudah lah. Begitulah orang. Ingin dihargai namun tak mau menghargai orang lain. Ingin dihormati namun tak mau menghormati orang lain. Lah, itu yang begitu wujud dari makhluk hidup atau bendera?" Ucapan Muhzeo itu berhasil membuatku langsung mencubit pinggangnya.

"Auh, sakit Dira," ujarnya sembari mengacak-acak rambutku.

"Sakitan hatinya si Jeen tau!" ujarku sembari ngakak.

Muhzeo terkekeh. "Perlu dikasih arahan mental dia tuh. Hidup glamor dan sering dimanjakan di rumah sepertinya berakibat fatal bagi seorang anak, ya," ujar Muhzeo.

"Hm," ujarku sembari tertawa.

"Nanti pulang sekolah mau ikut jenguk Hilmi?" tanyanya sembari menaruh tas di bangku.

"Sama siapa saja?" tanyaku.

"Elsa dan Paul tentunya. Siapa lagi, memang?" tanyanya sembari menopangkan tangannya di dagu.

Kini posisinya menghadapku. Ia tersenyum manis. Aku membuang tatapan darinya dan berusaha menahan senyum saltingku. "Kenapa makin hari lo makin cantik, sih?" tanyanya.

"Ini gombalan lo ke wanita yang ke berapa kali, hm?" tanyaku sembari terkekeh.

"Hm, satu. Seribu gombalan untuk satu wanita yang cantik ini!" ujarnya sembari mengacak rambutku.

"Aduh, baper, deh!" ujarku sembari meledeknya.

"Huh? Kalau baper beneran, ngomong aja kali," ujarnya sembari tertawa.

Aku menggelengkan kepala. "Anda terlalu geer, Pak!" ujarku ikut tertawa.

"Permisi," ujar seseorang dari luar kelas.

Kami menoleh dan mendapati salah satu anak rohis berdiri di depan kelas. "Bisa bertemu dengan Muhzeo?" tanya lelaki itu.

Muhzeo menepuk pundakku sebagai tanda ia pamit untuk pergi. Ia menghampiri anak tersebut segera bergegas pergi keluar kelas.

"Ze, kenapa?" Tanya Elsa yang baru datang dari kantin bersama paul.

Aku hanya mengendikkan bahu tanda tak tahu. Kubuka novel bersampul biru muda dan mulai hanyut tenggelam kepada untaian kata-kata yang sangat kusuka.

👀

"Dira, ayo!" ajak Muhzeo sembari menutup resleting jaket birunya.

Aku mengangguk. Sesuai perjanjian tadi, kami semua akan kembali menjenguk Hilmi yang masih berada di rumah sakit. Ia sempat terkejut waktu kami ceritakan kejadian sebenarnya.

Muhzeo menghentikan motornya ketika sampai di depan parkiran rumah sakit. Baru beberapa langkah hendak meninggalkan area tersebut, aku langsung menarik ujung jaket muhzeo. "Kenapa?"tanyanya.

Aku menunjukkan sesuatu dengan menggunakan arahan daguku. Ia melihat ke arah yang kutunjukkan. Ia tersenyum. "Cuma mau menyapa saja mungkin. Tenang aja. Kan ada gua," ujarnya tanpa rasa takut sedikit pun.

Pasalnya yang kulihat ini adalah seorang anak yang memakai baju sekolah lengkap. Kepalanya lumayan retak. Kakinya benar-benar buntung sebelah dan masih menyisakan tetesan darah segar di ujungnya. Kalau boleh kutebak, mungkin ini adalah korban kecelakaan.

"Tapi dia melihat ke arah kita seperti aneh sekali!" ujarku sembari bersembunyi di belakang tubuh jangkung milik Muhzeo.

Ia terkekeh. "His, sudah, ayo!" ajaknya dan segera masuk terlebih dahulu ke dalam rumah sakit.

Bisikan Mereka ✔Where stories live. Discover now