TUJUH

770 151 102
                                    

"Dan dia pacar aku, Tante."

What?! Sejak kapan Sadam jadian sama Mikha?

Aku mendelik ke arah Mikha, lalu menggeleng pelan. Ini benar-benar tidak beres. Mikha rupanya belum puas membuatku menderita. Coba lihat saja mukanya yang menyebalkan itu!

Kenapa dia enggak pulang-pulang, sih?

Ya Tuhan, kuatkanlah aku....

"Apaan sih lo, Mik? Gue bukan pacar lo!" Dihentakkannya tangan Mikha. "Sejak kapan gue jadi pacar lo?"

Genggaman Sadam semakin erat di jemariku. Maksudnya apa? Agar aku tak pergi? Ah, kenapa ada adegan FTV yang harus kualami, sih? Ini benar-benar sudah direncanakan oleh Mikha. Lihat saja nanti.

"Kamu lupa kan kita udah jadian tadi malam. Terus kamu ke sini pasti mau jemput aku, kan?"

Tuh, kan!

Kutangkap tatapan tajam Mama. Tatapannya seakan aku sedang melakukan hal salah terhadap Mikha. Sebaiknya aku ke dalam rumah saja.

"Maaf, Tante. Saya harus bicara dengan Tante." Sadam mengatakan kalimat itu dengan tegas.

Aku menarik tanganku dari Sadam. "Aku ke dalam dulu." Kuhentakkan tanganku agar terlepas dari Sadam. Tapi rupanya genggamannya cukup kuat. Kulemparkan es krim ke tempat sampah. "Sadam, tolong lepasin gue. Gue banyak tugas. Besok ulangan."

"Tante, saya mau bilang kalau Sab—"

"Sadam, cukup!"

Bukan. Itu bukan aku yang mengatakannya. Melainkan cewek yang berada di sisi lain Sadam; Mikha.

Sebelum lebih jauh lagi aku mendengarkan dramanya, kuhentakkan tanganku sekali lagi dan langsung berlari ke dalam rumah. Aku berlari tanpa melihat Mama.

"Bri, tunggu!"

Teriakan Sadam tak menghentikan langkahku. Mataku mulai basah.

"Sadam mau ke mana? Kamu mau nganterin aku pulang, kan?"

"Apaan sih lo, Mik?! Lepasin gue! Maaf, Tante."

Aku tak tahu lagi apa yang terjadi di luar. Hanya kata-kata itu yang terdengar.

"Sabrina? Kenapa, Nak?" Ayah bangkit dari kursi makan, menghampiriku dan memberikanku pelukan.

Kupeluk Ayah erat sambil merapalkan doaku untuk Ayah. Tuhan, izinkan aku untuk menjaga Ayah lebih lama.

"Aku enggak apa-apa, Yah." Kulepaskan pelukan dan menatap mata teduh Ayah. "Bri ke kamar, ya. Tugasku masih banyak."

"Enggak makan dulu?"

"Enggak, Yah. Tadi udah makan es krim." Senyum kuda mengembang di wajahku. Aku menjauh dari Ayah dan segera menaiki anak tangga. "Dadah Ayah. Selamat malam."

"Bri, tunggu!"

Aku berlari menaiki tangga.

"Maaf, Om. Boleh aku minta nasi buat Bri? Dia sakit, Om. Dan belum makan nasi sedikit pun dari tadi."

"Sabrina!" panggil Ayah.

Kuputar tubuh dan melihat Ayah di bawah. "Bri enggak apa-apa, Yah." Lalu, kulihat Sadam. "Sadam, mending lo pulang aja deh. Gue capek, Dam."

Sadam menggeleng. Dia beralih ke meja makan dan mengambil nasi beserta lauknya. Kubiarkan dia melakukan itu. Aku tak ingin lagi berdebat.

Segera saja aku menyelesaikan tugas Matematika tanpa mengingat lagi keberadaan Mikha di rumah ini. Urusanku dengan Mama pun telah usai.

Selang beberapa menit, Sadam mengetuk pintu. Entah apa yang terjadi dengannya di bawah di menit-menit lalu. Yang jelas, itu sudah memberiku waktu untuk mengerjakan dua soal dari tiga soal.

"Bri, gue masuk, ya."

Perkataannya tak kubalas. Aku berpikir keras untuk isi nomor tiga.

"Bri, lo marah sama gue? Sorry, gue enggak maksud ikut campur masalah lo sama Nyokap, tapi harusnya lo enggak kayak gini. Lo harus makan!"

Oke, selesai! Jawabannya pasti ini! Bodo amat. Aku lelah. Argh....

Mataku sudah tidak kuat lagi. Dengan langkah gontai, kubuka pintu dan menemukan Sadam terduduk bersandar di dinding seberang kamarku.

"Ngapain?"

"Gue mau suapin lo makan."

"Dih, ngapain juga nyuapin gue?" Pandanganku menangkap sepiring nasi dengan ayam goreng dan semangkuk sayur. Melihat mereka, mataku langsung segar kembali. Kupegang perutku yang tiba-tiba berbunyi. Para cacing hidup kembali!

Sadam berdecak. "Ayo makan!" Dia menarik tanganku, menyuruhku duduk.

"Eh, jangan di sini! Di kamar aja."

"Boleh? Biasanya cewek anti nyuruh temen cowoknya masuk, lho!"

"Iya juga, sih. Tapi enggak apa-apa deh buat sekarang." Usai mengucapkan itu, aku melengos ke dalam kamar.

Aku duduk di tepi tempat tidur menghadap meja belajar. Kulihat Sadam tengah mengamati kamar yang tak seberapa luas ini. Ruang dengan furniture serba putih ini sepertinya menarik perhatiannya. Dilihatnya jejeran foto yang kugantung rapi di dinding dengan tali. Ada banyak fotoku dan dia di sana. Sedangkan di atas rak buku, ada fotoku, fotoku dengan Ayah, fotoku dan Mama yang Sadam edit, dan Mia.

"Kenapa, Dam? Jelek, ya?"

Sadam menatapku, lalu menghampiriku. Senyum misteriusnya pun terlukis di wajahnya, membuat jantungku berdebar mengalahkan kobaran api semangat para cacing.

Sadam mendekatkan wajahnya ke wajahku sampai-sampai mataku terpejam ketakutan. "Lo harus terima tawaran dari Pak Doni, Bri."

Kubuka mata dan menemukan Sadam duduk di hadapanku menggunakan kursi belajar. "Ha?"

"Iya. Lo harus tunjukkin prestasi lo, Bri." Sadam menyuapkan nasi ke mulutku. "Biar nyokap lo tahu kalau lo pantas ngedapetin hak lo sebagai anak."

Perlahan tapi pasti

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Perlahan tapi pasti. Aku mengangguk. "Gimanapun caranya, gue akan ngelakuin biar Mama ngelihat keberadaan gue, Dam."

Sadam menyuapkan kuah sup ke mulutku. Tuhan, andai yang di depanku ini Mama.

"Sadam."

"Hm?"

"Seberapa sayangnya lo sama gue?"

"Ha? Lo nanya apa, sih?" Sadam meletakkan piring di samping kiriku. Lalu, jemarinya membersihkan tepian bibirku. "Jelaslah gue sayang sama lo."

Aku tersenyum. "Makasih, Dam. Gue cuma mau tahu, selain Ayah, siapa lagi yang sayang sama gue."

Sadam menarikku ke dalam pelukannya. "Gue, Bri. Gue sayang banget sama lo."

Aku sudah sangat senang mendengarnya waktu kutahu rasa sayangnya tak lain adalah rasa sayang kepada sahabat sendiri. []

♡♡♡

Holaaa 😘

Part ini terlalu sedikit, ya?

Janji deh setelah ini, ceritanya bakal lebih panjang biar kalian tambah sayang sama aku... 😆❤

Salam Sayang,

Aya

MAHKOTA KERTAS [tamat]Onde histórias criam vida. Descubra agora