S A T U

28.3K 1.3K 46
                                    

Pemakaman Umum, Jakarta
09 April 2015, 09.26

Kanaya bersimpuh di depan sebuah gundukan tanah, menatap nisan bertuliskan nama seorang anak laki-laki.

Haidar Zhafran Abrisam
Lahir : 09 April 2011
Wafat : 16 April 2011

"Haidar, Bunda rindu." Kanaya menyeka air matanya, membayangkan tangannya mengelus rambut Haidar dengan sayang.

"Seandainya kamu masih hidup, pasti saat ini usiamu sudah empat tahun ... dan tampan seperti ayahmu." Kanaya tersenyum, menarik napas panjang lalu mengembuskannya.

Kanaya masih ingat ketika dokter mengatakan jika organ vital—otak dan jantung—Haidar tidak berkembang dengan baik. Padahal Kanaya yakin, jika sang anak baik-baik saja.

Kanaya berusaha tetap tersenyum. Sesungguhnya ia tak ingin menangis di depan makam Haidar, sialnya air mata tak bisa ia kendalikan, setiap berkunjung ke tempat peristirahatan Haidar, ia selalu lemah dan berakhir dengan tangisan.

"Maafin Bunda nggak bisa menjagamu, Nak. Maaf," ucap Kanaya dengan tangis yang semakin terisak. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, ia lelah harus seperti ini.

Setiap malam sebelum tidur, Kanaya selalu membayangkan wajah Haidar, ia pun masih berharap jika sang anak masih di sini. Memikirkan itu membuat Kanaya semakin terisak di tengah rintik hujan yang baru saja jatuh membasahi pemakaman pagi ini.

Wanita ini tidak berniat sedikit pun untuk pergi meninggalkan makam Haidar. Ia mendongak ke atas, merasakan tetesan hujan menerpa wajahnya. Matanya terpejam, membayangkan ia berada di bawah guyuran hujan bersama Haidar, menari-nari.

Lima belas menit Kanaya melakukan itu sampai sebuah benda menyadarkannya bahwa hujan sudah tidak menerpa wajahnya lagi. Namun, Kanaya masih bisa mendengar suara rintik hujan yang berada di sekitar.

Kanaya membuka mata dan mendapatkan seseorang tengah memayungi dirinya. Dengan dahi mengerut, Kanaya menatap seseorang yang cukup ia kenal itu.

Bagas Pramoedya, pria yang telah menampung dan membantunya hidup selama lima tahun terakhir. "Tidak baik hujan-hujanan," ucap Bagas, menyejajarkan tubuh mereka.

Kanaya menatap gundukan tanah di depannya. "Aku merindukannya."

Kanaya masih ingat perjuangannya melahirkan Haidar tanpa seseorang yang menemani. Masih terekam jelas di benaknya ketika ia merasakan sakit di sekujur tubuh saat melahirkan. Namun, rasa sakit itu seketika menghilang saat ia mendengar suara tangis sang anak. Sejak saat itu Kanaya berjanji akan menjaga buah hatinya dengan sangat baik walau tanpa seorang suami.

Mengingat bahwa pria itu memilih menuruti keinginan keluarganya membuat Kanaya kembali terisak. Kenapa hidupku seperti ini, Tuhan? gumamnya dalam hati.

Jika bisa memilih, Kanaya akan memilih menggantikan Haidar yang berada di dalam sana. Lebih baik ia yang mati. Toh, dengan ia mati pun tak ada seseorang yang akan merindukan dirinya.

Satu bulan setelah kehilangan Haidar, kedua orang tua Kanaya mengalami kecelakaan yang mengakibatkan mereka meninggal di tempat. Hatinya semakin hancur kala itu, berkali-kali ia mencoba melakukan aksi bunuh diri. Namun, selalu saja gagal.

Tanpa Kanaya dan Bagas sadari seorang pria tengah menatap mereka dari jarak yang cukup jauh. Ia sangat ingin memeluk Kanaya dan membisikkan kata "maaf". Namun, ia harus mengurungkan niatnya kembali sampai waktu yang akan menjawab.

Pria ini tak ingin Kanaya semakin menjauh dari dirinya. Sudah cukup selama beberapa tahun ini ia berpisah dari Kanaya dan tak ingin kejadian itu terulang kembali.

MY BRIDE [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang