Pukul 11.30 kajian selesai kemudian dilanjutkan dengan sholat Zuhur berjamaan yang diimami sang Hafidz.
Setelah sholat Zuhur selesai, barulah kegiatan tersebut benar-benar selesai. Banyak para jamaah berlari meminta foto pada Boim, sapaan akrab untuk sang hafidz.

Sementara tiga sahabat tersebut memutuskan untuk keluar dari Masjid.

"Minta foto dulu dong baru pulang" pinta Risma terus menerus sambil menggerutu. Tangan Ira dan Nabila terus ia tarik untuk kembali masuk ke dalam masjid.

"Mau desak-desakan gimanapun, belum tentu bisa foto bareng, Maaa" jawab Nabila.

"Yah tapikan seenggaknya usaha dulu, ya nggak Ra?"

"Setuju sih, cuman nggak yakin aja sama jumlah jamaah sebanyak ini"

"Ikhss,males deh"

"Gini, emang kalau udah foto sama dia kita mau apa? Jadiin foto pajangan dirumah? Atau di share di medsos trus dapat pujian? Dosa tauk, riya itu namanya, pamer!" Nabila menjelaskan.

Ira mengangguk-anggukan kepalanya, "sepakat" ucapnya mengacungkan jempol kanannya.

"Kan buat jadi bukti, kalau kita tuh udah pernah ikut kajiannya ka Boim." Jawab Risma dengan argumen barunya.

Nabila menggeleng, "yang perlu jadi bukti itu, kita menerapkan apa yang beliau sampaikan tadi, rajin membaca Alquran, menghafal dan mengamalkannya. Itu bukti yang nyata. Emang foto sama hafidz bisa buat kita masuk surga?"

Risma menggeleng.

"Enggak" jawab Ira semangat 45

"Nggak kan? Yaudah ngapain usaha buat minta foto, lagian desak-desakan gitu, kalau bersentuhan sama yang bukan mahrom gimana? Kan dosa! Ka Boim juga bukan mahrom kita. Yang penting itu dapet ilmunya, masukin ke hati trus terapin deh!"

"Setujuuuu" pekik Ira, lagi dengan suara semangat 45-nya.

Risma menggerutu, mendesah keras lalu pasrah. "Yaudah deh"

"Udahkan? Yukk pulang"

Ketiganya pun keluar dari pintu utama Masjid. Ternyata cukup sulit keluar karena Jamaah sangat banyak, bahkan mereka kesusahan mencari pasangan sepatu mereka.

Mereka bertiga lalu menuju parkiran motor.
"kak..kak!" Panggil seseorang.

Ketiganya tidak menoleh. Toh mereka tidak merasa.

"Kakak yang pake khimar coklat" panggilnya lagi.

Barulah Nabila menoleh karena warna khimarnya adalah coklat, lalu kemudian disusul Ira dan Risma yang juga ikut menoleh pada anak laki-laki yang memanggil tersebut.

"Saya?" Tanya Nabila pelan.

Anak yang berumur sekitar 13 tahun itu menangguk lalu berkata, "dapat salam dari kakak saya." Ucapnya.

Nabila terlonjak kaget, lalu menjawab dengan gagap, "a-ah- hah?"

"Iya. Kakak saya nitip salam buat kakak. Sana kakak saya, yang pakai kemeja Biru!" Tunjuknya kepada pemuda yang memakai kemeja Biru navy dan celana kain berwarna hitam.

Mata Nabila dan dua sahabatnya mengikuti telunjuk anak tadi. Iya, ada pria memakai kemeja biru disana tapi, ia tidak terlihat seperti orang yang tengah menunggu jawaban salam. Laki-laki itu justru sibuk mengatur para jamaah yang berdesak-desakan untuk menemui sang Hafidz.

"Jawaban kakak apa?" Pertanyaan anak tadi membuyarkan ke-fokusan ketiganya yang sedang menatap seksama pemuda itu.

"Astatghfirullah!" Gumam Nabila cepat.

"Salam balik dek" jawab Risma memprovokasi.

"Huss, kamu tuh yha!" Cegat Ira.

"Salamnya bukan untuk kamu, tapi kakak ini." Ucap anak itu membuat Risma ingin sekali menjitak kepalanya.

Ira terkekeh, "rasain, hahah"

"Jadi kak gimana?"

"Eh-! Waalaikum salam buat kakak kamu" jawab Nabila setelah berfikir harus menjawab apa.

"Makasih kak" ucap anak tadi lalu berlari meninggalkan mereka bertiga.

"Cieee yang dapat calon imam" goda Risma.

"Udah siap, Bil?" Sambung Ira.

"Ihh apaan sih". Jawab Nabila Risih.

"Astaghfirullah hal adzim" gumam Nabila dengan suara yang hanya dirinya dan Allah lah yang bisa mendengarnya.

Bukan tidak ingin, hanya saja aku takut untuk berharap pada apa yang tidak semestinya diharapkan.

Alhamdulillah.

Maaf yha kalau di part ini banyak typo dan alurnya nggak jelas.

Pejuang Cinta Allah.Where stories live. Discover now