"Gini. semalam, aku kan ke acaranya Naya, nah terus aku pake gamis jelas dong yah, jilbab aku kayak gini nutupin dada. Awal aku datang yhaa masih enak, ngobrol bareng sama temen-temen lama aku, trus si Rizky... kalian tahu Rizky kan?"

Keduanya mengangguk cepat. Mereka terlihat antusias mendengar cerita panjang binti berbelit-belit Risma.

"Nah! Tuh anak malah rangkul-rangkul gue, ihh padahal kan bukan muhrim, terus aku marah dan mau ngejelasin batas-batas perempuan sama laki-laki tuh gimana, tapi gara-gara si jahanam Dita itu aku..."

"Risma!" Bentak Nabila tiba-tiba memotong penjelasan Risma.

Risma dan Ira memandang Nabila bersamaan. Wajah Nabila terlihat memerah, entah apa penyebabnya.

"Eh?" Heran Risma.

"Ada apa, Bil?" Tanya Ira

"Ma, kamu nggak punya hak untuk menilai orang sampai sejauh itu. Bisa jadi orang yang kamu nilai buruk itu ternyata jauh lebih baik daripada kamu!" Ucap Nabila menekankan.

"Kamu kenapa sih, Bil? Aku belum selesai ceritain semuanya, tahu. Emang ada yang salah sama omongna aku?"

"Ada!" Jawab Nabila mantap.
"Jangan nilai orang hanya dari satu sudut pandang yang kamu lihat, dan kalaupun ia buruk jangan pernah menyebutnya sebagai jahannam, nggak baik Ma. Dia juga keluarga kita, sama-sama umat Rasulullah" Kata Nabila menjelaskan.

Ira terlihat manggut-manggut. Ia baru paham penyebab Nabila membentak Risma tadi.

Risma juga baru menyadari kesalahannya. Cepat-cepat ia berucap, "yaampun, maaf deh."

"Istighfar Rismaa" saran Nabila dan Ira.

"Astaghfirullah."cepat-cepat Risma mengucapkannya.

Menit berikutnya, Risma kembali menjelaskan seluruh kejadian yang ia alami semalam, tidak terlewat sedikitpun dan tidak ada tambahan apapun. Beberapa kali ia juga terlihat emosi jika mengingat kejadian semalam hingga Nabila dan Ira terus menyadarkan Risma dengan cara memintanya untuk ber-istighfar berulang kali.

"Hmmm, jadi gitu ceritanya." Respon Ira sambil mengangguk-ngangguk.

"Menurut kalian aku salah nggak? Nggak kan? Ihhh jadi sebel gue kalau ingat mereka."

" 'kamu apa gue' sih?" Sindir Nabila, lagi.

"Iya-iya, aku. Duh!"

"Menurut aku, kalian semua salah. Dariawal emang udah salah sih" kata Ira mengeluarkan argumennya.

Risma melongo, memperlihatkan ekspresi bingung dan kagetnya, "kok semuanya salah sih? Yha harus ada yang benar dong!" Protes nya tidak terima.

"Iya itusih pendapat aku. Soalnya kan gini, Dita emang salah dari penilainnya tentang kamu yang udah mulai berubah tapi kalau kamu nya nggak respon pake emosi mungkin itu nggak bakalan terjadi. Gimana Bil menurut kamu?" Jelas Ira.

"Aku tuh udah berusaha nahan emosi, Raa! Kalau misalkan aku tub pake emosi aku yang bener-benet ngelunjak, duh udah habis tuh anak sama gue" jawab Risma diikuti gaya so'nya.

Nabila hanya bisa geleng-geleng melihat Risma yang belum juga bisa mengatur dan menurunkan kadar amarah meluap-luapnya.

"Aku setuju sama Ira, tapi aku lebih fokus sama kata-kata kamu yang kayak... apa yha? Me-labeli seseorang sebagai penghuni neraka, itu point dimana letak kesalahan terbesar kamu!" Nabila menjeda ucapannya untuk sekedar mengatur nafas.

"Yap! Aku setuju!" Tanggap Ira.

"Menurut aku, baiknya kamu minta maaf deh, Ma." Saran Nabila membuat Risma melongo cepat.

"Minta maaf? Ihh amit-amit. Bil, gini yhaa. Aku tuh nggak bakalan marah kalau Dita tuh nggak mancing amarah aku deluan, sabar juga ada batasnya kali, Bil.. Ira" protes Risma.

Hal yang paling susah untuk Risma adalah meminta maaf. Ia itu adalah hal yang paling jarang Risma lakukan. Ia selalu merasa dirinya yang paling benar, meskipun salah ia tetap menganggap dirinya benar. Dan siat itu akan berusaha dihilangkan oleh Nabila dan Risma.

"Sabar nggak ada batasnya, Risma!"

"Tahu ahh, terserah kalian berdua aja!"

"Minta maaf bukan berarti harus kamu yang salah, bukan juga berarti kamu menyatakan kalah. Minta maaf adalah kunci menyelesaikan masalah, seberat apapun masalah itu. Coba deh bayangin, kalau di dunia ini nggak ada manusia yang mau minta maaf, apa akan sedamai ini? Nggak kan?" Nabila menjelaskan dengan pelan sambil berusaha menenangkan Risma dengan cara memegang kedua telapak tangannya.

"Kalau kamu nggak minta maaf deluan dan mereka juga nggak minta maaf, gimana? Masa ia kalian harus musuhan sih. Ayolah minta maaf aja. Ikhlasin."

Risma diam, tidak ingin menanggapi. Hatinya masih bersikukuh mempertahankan egonya.

"Kamu juga nggak mau kan memutuskan silahturahmi kalian?, tadi kamu bilang mau berhenti temenan sama mereka, duh! Harusnya jangan, besok-besok bisa jadi mereka menjadi tempat yang paling kamu butuhkan ketika punya masalah."

Tanpa sadar, sebulir air menetes di pipi kanan Risma. Ia menangis. Ia memang keras kepala dan terkadang agresif pada hal apapun, namun hatinya paling mudah tesentuh ketika dilemparkan kata-kata bijak.

"Nabilaaa.. Iraaa" ucapnya meraung minta dipeluk.

Matanya yang tadi sembab kembali sembab akibat tanginsya. Untungnya mereka berada di mushola dimana hanya mereka penghuninya di pagi ini.

"Jadi aku.. ha-rus minta maaf?" Tanyanya di tengah raungan tangisnya.

Ira dan Nabila mengangguk bersamaan, lalu melemparkan senyum karena 'mungkin' sahabatnya itu sudah mengerti dengan apa yang mereka ucapkan tadi.

Walaupun berat, Risma akan berusaha untuk meminta maaf pada Dita dan yang lainnya. Tidak lupa ia juga harus ikhlas dalam meminta maaf, agar niat dan usahanya tidak bernilai kosong di mata sang ilahi.

Minta maaf memang berat, tapi mempertahankan ego jauh lebih berat karena diatasnya terdapat dosa sebagai beban.

Jangan ragu untuk meminta maaf walaupun dirimu tak salah. Jika minta maaf mampu membalikkan suasana menjadi lebih baik, maka lakukanlah.

Jangan peduli terhadap cemoohan mereka yang menganggap dirimu lemah karena meminta maaf deluan. Karena kamu adalah pemenang yang sesungguhnya.

***

Alhamdulillah.

Makasih udah baca. Dan maaf atas typo yang ada. Maafkan juga apabila terlalu berbelit-belit.

Ambil hikmahnya dan lakukan di dunia nyata anda.

Wassalamualaikum, dari saya.

Ryn.

Pejuang Cinta Allah.Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin