"Aku mendengar suara keretakan  tulang. Kain-kain yang berbau amis tadi seketika bergerak dan membentuk badan utuh, namun penuh luka."

"Mereka bercerita banyak tentang kekejaman ayahku."

"Ayahku pembunuh. Ia suka menyakiti orang lain. Ia suka mengurung orang lain. Ia juga suka menguliti orang lain tanpa punya belas kasihan. Tak hanya itu, ia pun sering menembaki orang sesuka hatinya, menaruh nafsu bejat pada perempuan pribumi, merampas harta orang lain, menyiksa anak-anak kecil, dan juga mematahkan tulang-tulang para lansia. Sangat mengenaskan. Tidak punya hati!"

"Semenjak itu aku mulai pergi dari rumah dan mencari kehidupan baruku. Hingga akhirnya, aku dipertemukan olehmu," ujar Tere sembari tersenyum.

Aku tersenyum menanggapinya.

"Jangan jahat kepadaku ya, Dira. Jangan seperti ayahku," pinta Tere sambil memegang erat tanganku.

Aku mengangguk dan tersenyum.

"Aku tidak akan menyakitimu dan kau tidak akan menyakitiku. Kita sahabat selamanya!" ucapku semangat.

Tere tersenyum.

"Maukah kau kutunjukkan sesuatu?" tanyanya dengan antusias.

Aku mengangguk.

"Apakah kau percaya jika aku bisa bermain piano?" tanyanya dengan nada sombong.

Aku mengangguk saja.

"Ikut aku dan pegang tanganku!" perintahnya.

Aku langsung menuruti ucapannya itu.

Ia membawaku ke tempat yang gelap, sepi, dan sunyi.

Aku mulai membuka mata dan menatapi hamparan sawah indah di hadapanku. Desa di depanku ini tampak asri sekali. Banyak orang terlihat menanam padi di sawah dan juga bersenda gurau sambil sesekali mengurusi sawahnya, tetapi mereka tak menganggap keberadaanku.

"Itu pianonya di sana!" ujar Tere.

Aku mengikutinya dari belakang.

Ia membuka piano putih dekat gubuk tua, namun tampak masih tegap. Ia berancang-ancang untuk memainkannya.

Suara alunan lagu lama terdengar jelas ditelingaku. Ia memainkan piano tersebut dengan lincah.

Merdu sekali.

"Hei, sampai melamun .... Bagus, tidak?" tanya Tere.

Aku tertawa karena ketahuan menghayati lantunan nada piano itu.

Aku bertepuk tangan dengan keras. Tere tersipu melihat tepukan meriah dariku.

"Bagus! Bagus sekali. Aku menyukainya," pujiku sembari tertawa.

Tere pun ikut tertawa.

"Ini di mana?" tanyaku sambil memandang ke arah sekitar.

"Ini tahun sebelum bangsaku menjajah bangsamu. Tenang dan damai, bukan?" Tanyanya dengan tersenyum.

Aku mengangguk saja.

"Oh iya, nanti jika saatnya aku pergi, jangan rindu padaku ya?" pintanya yang sedikit memberikan rasa pedih di hatiku.

Aku memajukan bibir sekilas, manyun.

"Kenapa memang? Kau mau pergi kemana?" tanyaku dengan nada agak kesal.

Dia mengacak rambutku.

"Kan sudah kubilang, aku pasti akan meninggalkanmu, Dira. Akan ada yang menggantikanku nanti. Tenang saja,"ujarnya sembari tertawa.

Aku merengut kesal.

"Lalu kalau aku ingin bertemu kau, bagaimana caranya?" Tanyaku dengan nada yang masih tak enak di dengar.

"Nanti kau akan tahu. Jika saatnya sudah tiba," sahutnya.

"Tere, main polisi maling, yuk! Kau yang jadi maling dan aku polisinya, oke?" Tawarku.

Ia terlihat berpikir sejenak.

"Okelah, tapi masa tampan-tampan seperti ini jadi maling, Dir?" Tere terbahak-bahak.

Aku semakin kesal dibuatnya.

"Oke oke .... Aku maling tampan dan kau polisi cantik. Maling tampan akan mencuri hati polisinya cantik, ya? Eh, tidak. Aku hanya bercanda saja," ucapnya.

Aku tertawa.

"Kau lucu sekali, Tere," ujarku sambil tersenyum.

"Memang sudah takdirku,"ujarnya.

"Dasar hantu pede!" ucapku seraya tertawa lepas.

"Tak apa. Yang penting aku tampan," ujarnya sembari tertawa.

"Kau konyol seperti acara badut di televisi kartun yang biasa ku tonton."

Dia berpikir sejenak.

"Badut, ya? Hm, badut jelek. Kalau aku, tampan. Jangan disamakan, ya. Hahahahah." Aku dan dia berhasil tertawa terbahak-bahak.

Tere mengambil jepitan di kepalaku.

"Tere kembalikan!" suruhku dengan kesal.

"Apa kau lupa? Aku kan maling! Ayo kejar aku polisi cantik! Hahahah," tawanya sembari melayang.

"Kau curang! Kau curang. Tidak boleh melayang! Tidak adil itu, Tere," ujarku dengan nafas yang memburu karena terlalu cepat mengejarnya yang hanya tinggal terbang.

"Kau ingin melayang juga?" tawarnya.

Mataku berbinar.

"Tentu saja!" ujarku antusias.

Tere memegang tanganku. Ia menggenggamnya dengan erat.

"Eh, eh, aku ingin jatuh ini ...." Aku terus meracau tak jelas.

Ia benar-benar membawaku melayang!

Antara takut dan senang. Entahlah apa yang ku rasakan.

Tere terus memegangi tanganku. Aku balik memegangi tangannya.

"Sekarang polisi menang!" putusku.

Dia menatapku heran.

"Bagaimana bisa menang?" tanyanya penasaran.

"Look it this! aku sudah dapatkan dirimu. Tinggal aku penjarakan saja hahahah," ujarku senang.

Tere menjatuhkan diriku dan dirinya di hamparan rerumputan hijau.

"Dasar kau! Aku takkan membiarkanmu bisa memenjarakanku, wle." Tere menjulurkan lidahnya yang berusaha meledek.

Aku menepuk kencang bahunya. Sahabatku yang tak kasat mata ini memang menyebalkan.

"Ayo, lari lagi! Tangkap aku lagi hahahaha." Tere menjauhiku lagi.

Aku tersenyum senang sembari mengejarnya kembali.

Aku kembali! Belum ada seramnya ya? Tunggu saja. Jangan sembarangan berucap jika ini tidak ada apa-apanya. Tunggu aku kembali👀

Bisikan Mereka ✔Where stories live. Discover now