Bonus Part

15.8K 619 25
                                    

POV Niswa

(Part bonus. Andai kisah ini disempurnakan penulisannya n menjadi novel pun, part ini tak kan ada. Cuma saya pengen aja menulis betapa lukanya dia😢)

"Sebesar apapun hatimu menolakku.
Aku istrimu"

Ketika janji suci itu terlafazkan
Jiwa ragaku milikmu
Aku akan bertahan
Walau cemeti mencabik tubuh
Sembilu menyayat pilu

Aku tetap di sini
Merangkak padamu
Wujud baktiku
Walau dunia mencerca
Kuterima takdirku

Ini jalanku
Ini janjiku

-Niswa Azzura Hamzah-

Aku patut bersyukur. Akhirnya di usia yang hampir 24 tahun telah menyempurnakan ibadahku, menjadi seorang istri. Menikah dengan pria pilihan orang tua pun bagian dari ibadahku. Baktiku pada mereka. Ya, aku menikah karena dijodohkan. Walau hatiku diliputi kegelisahan, karena takut dan kuatir menjalani kehidupan rumah tangga yang pastinya tak kan mudah. Apalagi aku tak mengenalnya sama sekali. Namun aku mantap menjalaninya sebagai garis takdirku.

Moreno Alvaro Ardiansyah, nama pria yang saat ini bersetatus suamiku. Aku tak pernah berani menatapnya. Jujur, ada perasaan takut ketika berada di dekatnya. Selain karena aku tak mengenal sebelumnya, sikapnya sangat dingin. Sebelum menikah, kami hanya bertemu dua kali. Tak banyak yang kami bahas, dia pun tak banyak bicara. Hanya membicarakan persiapan pernikahan.

Berada di sekitarnya, bahkan darahku seakan membeku. Dingin itu merasuk sampai ke dasar tulang. Bernafas saja aku takut-takut.

Masih terngiang ucapannya persis setelah kami mengikrarkan ijab qabul.
"Jangan pernah mimpi kita akan menjalani rumah tangga yang normal." ucapnya dingin. Deg, sesuatu keras menghimpit dadaku. Ini terlalu tiba-tiba. Kado terindah.
"Ma, maksud Mas." Dia bicara padaku, tapi tak menatapku. Pandangannya lurus pada jendela kaca. Seolah aku tak pantas ditatapnya.
"Kamu nggak perlu mikirin aku. Kalo kamu mau jadi istri yang baik. Cukup rawat Kayla untukku." Dia mengatakannya sambil berlalu melewati bahuku begitu saja. Hatiku luruh seketika, pria itu mengatakannya tanpa basa-basi. Kuatkan aku Allah.

Sebulan sudah berlalu, aku tinggal di rumah Mas Reno. Tak seperti kisah pengantin baru lainnya menikmati bulan madu sebagai momen kebersamaan, kami berbeda. Ucapannya tak main-main, kami benar-benar menjalankan rumah tangga dengan tidak normal. Kami jarang berinteraksi, bahkan kadangkala seharian aku tak melihatnya. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku bersama Kayla, putri Mas Reno dari pernikahan sebelumnya. Tak apa, bersama Kayla duniaku menjadi ceria dan penuh warna. Aku merasa tak kesepian.

Lagipula aku dan Mas Reno butuh waktu untuk saling mengenal. Namun seandainya Mas Reno berubah fikiran dan meminta haknya, aku telah menyiapkan diri, walau aku ... takut.

Ya, baginya aku tak terlihat, bahkan melirikku pun dia enggan. Dia memperlakukanku tak lebih dari pengasuh Kayla di rumah ini. Sungguh, aku tak keberatan. Pun tak ada penyesalan. Aku bahagia, aku sangat mencintai Kayla. Gadis kecil itu alasan mengapa perjodohan ini terjadi.

Beberapa kali Mas Reno sinis mengatakan kalau aku bukan tipenya. Ya Allah, bagaimanapun aku ini istrinya. Aku sadari aku tak secantik mendiang istrinya yang seorang model. Sedangkan aku wanita bergamis yang tak mungkin tampil menarik baginya.

Mas Reno belum menyukaiku. Aku akan melakukan yang terbaik, aku tetap akan menjadi istri seperti yang diajarkan para ustazah selama ini. Menuruti semua perintahnya, menyiapkan keperluan pribadinya. Melayani kebutuhannya. Aku cukup senang, dia selalu menghabiskan teh yang kusiapkan di kamarnya.

Wangi teh menguar dari cangkir yang kubawa, semoga Mas Reno menyukainya. Bismillah ... aku berjalan menuju ke kamarnya.

Aku tekejut begitu selesai meletakkan secangkir teh di atas nakas, tiba-tiba Mas Reno muncul dari kamar mandi. Walaupun mengenakan celana, tetap saja aku malu, karena saat ini dia bertelanjang dada, bagaimana ini, "Assalamualaikum, pagi Mas. Ini tehnya ya. Saya juga sudah siapkan sarapan di bawah Mas," tak ada sahutan. Dia juga tak melihatku, sibuk mengusap rambutnya dengan handuk.

"Permisi ya Mas." Belum juga aku beranjak.
"Kamu nggak perlu repot-repot ngurusin aku! Aku bisa sendiri."
"Nggak ko Mas, itu sudah kewajiban saya."
Aku menundukkan kepala, ya, Allah dia menatapku. Gimana ini.
"Dan jangan pernah ikut campur urusanku," ucapnya dingin dan penuh penekanan pada kalimatnya.

Aku menganggukkan kepalaku lemah tanpa berani menatapnya. Aku tahu Mas Reno sangat tersinggung, ketika beberapa hari lalu aku menyampaikan kalau minuman beralkohol itu dilarang. Sebagai istri aku hanya ingin Mas Reno menghentikan kesenangannya mengkonsumsi minuman keras.

Aku sama sekali tak merasa sakit hati atas semua perlakuannya. Aku akan selalu tersenyum padanya. Izinkan ya Allah untuk membuatnya jatuh cinta. Padaku.

.

Dini hari, ketika aku sedang menjalankan sembahyang malam, aku melihatnya memasuki kamar. Tubuhnya terhuyung membentur daun pintu yang terbuka membentur dinding. Menyisakan suara debuman keras. Mulutnya meracau. Ini sudah beberapa kalinya dia pulang dalam keadaan seperti ini. Mabuk.

Seperti biasanya, aku segera membantunya. Susah payah memapah tubuh besar itu merebahkannya di ranjang. Melepas kaus kaki dan sepatu, karena dia masih memakai baju kerja lengkap.
“Hmmm, ka-mu apa, si-a-pa, hmmm.” Mas Reno masih saja berbicara tak menentu, lalu tertawa sendiri. Sekuat tenaga aku mendorong-dorong tubuhnya agar ke ketengah ranjang.

“Mas, tidur ya.” aku mencoba mengangkat lengannya yang menggantung di tepi ranjang.
Betapa terkejutnya aku, saat tanganku ditariknya cepat. Tubuhku terjerembab, pergerakannya begitu cepat. Aku terkungkung di bawah tubuh besarnya.
Nafasku terengah, mataku terbelalak.

"Kamu cantik, temani aku," ucapnya terbata.
"Mas, jangan, Mas ...."

Ya Allah, tolong ....
Sekuat tenaga aku berontak. Namun apalah dayaku, dia melucutiku. Membungkamku paksa. Berkali-kali aku dihempaskan, aku disiksa. Serasa sembilu menyayat-nyayat kulitku. Pedih menghantam ragaku. Tubuhku terkoyak, serasa dirajam ribuan belati. Hatiku berkeping. Angkara telah bersemayam di jiwanya. Tak peduli lagi jika aku ini istrinya. Kenapa aku diperlakukan seperti ini.

Allah, ambil nyawaku saat ini juga. Aku ingin mati saja. Tangisku tak lagi bersuara, saking hebatnya.

Kulihat dia tertidur pulas, setelah puas mencabik-cabik harga diriku. Tubuhku masih gemetar hebat. Kupunguti pakaianku. Kakiku tak sanggup berdiri, aku ambruk. Berusaha bangkit, merangkak menuju kamar mandi.

Bonus part ***revisi2...😊



Bidadari dengan Sayap PatahWhere stories live. Discover now