Nama-nya, Miso Hananda. Nama itu sama dengan orang itu, orang yang dulu berharga namun hilang begitu saja-dalam artian meninggalkan-ku. Aku memang mencoba untuk lepas dari masa lalu yang terlalu mengikat namun entah kenapa aku malah di belenggu waktu dengan nama yang sama dengan rupa yang berbeda.

Ku tatap sepatu yang ku gunakan, kini berjarak cukup bebas dari tanah-pijakan secara harfiah mengantung bebas, aku goyang-goyang-kan ayunan ke depan ke belakang untuk mengusir rasa bosan, sesekali melirik memastikan cewek mungil itu masih disana, namun ketika ayunan terlempar ke depan untuk ketiga kali-nya, aku tidak lagi mendapati cewek itu disana, nyatanya cewek itu kini menuruni tangga lalu berjalan seolah ingin meninggalkan taman, namun langkahnya terhenti saat netra cokelat madu itu menemukan-ku.

Hal lain yang dapat ku tangkap mata Hana melebar terkejut layaknya maling yang ke tangkap basah sedang mencuri begitulah ibaratnya saat ini, cewek itu bergerak kikuk ke arah-ku melangkah dengan jutaan alasan dan praduga di otak cemerlang-nya, sebenarnya aku tak butuh alasan jelas hanya saja yah aku sangat tahu dia menangis, memang-nya aku tuli suara tangis itu bahkan terdengar dari troatoar sana. Namun sekali aneh tetap aneh itu sudah menjadi gelar nyata diriku di otak-nya, hal yang ku lakukan berikutnya malah nyengir kuda berharap agar Hana tak merasa lemah karena aku baru saja mendapatinya menangis.

"Lo ngapain disini?"

"Lagi nunggu cewek"aku mendapati Hana menoleh ke kanan-lalu ke kiri, kemudian dia memasang ekspresi terlalu bingung ke arah-ku, dia ini kelewat jenius atau apa, tentu saja aku hanya menunggu-Nya. Taman ini sepi tidak ada satupun cewek selain dia, apa tidak bisa dia menangkap maksud-ku lebih cepat, dasar tidak peka!.

"Cewek lo belum datang yah, yaudah gue pulang duluan yah" Hana berbalik meninggalkan-ku, tolong-yah di garis bawahi dia itu benaran cewek kelewat tidak peka, ingin sekali menariknya kembali kesini tapi aku tak punya hak melakukan itu-aku ini kan bukan siapa-siapa-nya, pikirkan saja jika aku menarik tangan-nya, dia sudah pasti meneriaki-ku fanboy freakie wekie, entahlah sebutan apalagi yang akan keluar jika aku nekat melakukan hal itu.

"Gue nunggu loh dari tadi"ucapku pelan, rasanya sungguh menggelikan- script drama korea mana sih yang sedang aku lakukan sekarang, ternyata mengatakan hal-hal seperti itu secara langsung maksudnya yah sekarang, terasa sangat super duper aneh.

"Huh?"aku yakin cewek itu berbalik, aku yang tak yakin dengan rasa aneh yang menjalar di jantung-ku malah menunduk menatap asal sepatu convers-ku yang dengan kurang kerjaan sekali-ku goyang-goyangkan.

"Kok lo nangisnya lama banget sih?"tanya-ku mengalihkan gugup, bodoh mengapa juga aku harus gugup, aku kan bukan sedang menyatakan cinta atau semacamnya. Aku lalu mendongak menatap netra gadis itu, oh tidak matanya sembap.

"Gue gak nangis"nada Hana meninggi, sumpah Hana selalu begini jika menghindari rasa malu, aku sangat tahu itu.

"Gak usah bohong. Itu ada sisa air deket ujung mata"tunjuk-ku ke sudut matanya.

"Mana? Ishh ini mah air hujan"

"Kok boongnya aneh, mana ada hujan. Orang dari tadi terik gini"Aku tertawa kecil, beranjak lalu mengacak rambut Hana gemas, bagaimana bisa dia berbohong dengan alasan yang begitu bodoh. "Gue kira lo cukup pinter tapi kok bohongnya kok terkesan bego sih"canda-ku lalu tersenyum simpul menatap-nya, cewek itu hanya diam. Tidak ada balasan lagi. Kenapa cewek ini jadi terlalu mudah seperti ini, biasanya jika aku berani menyentuh rambut-nya, dia akan menendang asal kaki-ku atau tak segan-segan menjabak kasar rambut-ku. Terlalu liar sih tapi aku suka.

"Muka lo kenapa?"

"Gue gak berantem"Aku memejamkan mata sedetik merasa kepalang bego, jawaban yang terlalu jujur biasanya aku gak gini, bahkan di depan mama pun aku pinter banget bohong, seharusnya hal lain bisa keluar dari mulut sialan ini tapi kenapa harus sejujur itu, aku menepuk pelan mulut-ku, berharap lain kali mulut ini dapat di andalkan dengan baik.

"Kan Gue gak nanya Lo berantem atau gak?"cibir cewek itu lalu menekan salah satu lebam dipipiku-cukup kuat. Aku meringis nyatanya sekali kejam tetap kejam. benar serigala tidak akan pernah berubah menjadi kucing, bukan?.

"Sakit tau"ringis-ku.

"Alam, yah?"tebaknya benar.

"Bukan. Itu loh pas di jalan tadi gak sengaja berantem sama salah satu cowok, gara-gara ceweknya keasikan lihat tampang ganteng gue. Jadi yah kena hajar"aku nyengir namun mendapati air muka Hana tidak terlihat simpati, rasanya aku terlalu kentara berbohong yah.

"Yaudah ikut gue yuk"terima kasih untuk apapun yang aku lakukan hari ini, selama ini aku tidak pernah membayangkan kontak fisik seperti ini, tapi melihat tangan itu melingkar di pergelangan tanganku dan mencengkeram-nya kuat sembari menuntun-ku berjalan mengikuti, nyatanya ada juga hari seperti hari ini yah. Aku tersenyum.

Terima kasih tuhan.

Cewek itu menyeret-ku ke halte, perjalanan cukup jauh sih dari taman ke sini jadi aku sangat senang karena berpegangan tangan dengan rentang waktu yang cukup lama. Tapi sebelum itu aku harus menunggu di halte sendiri, sedangkan cewek itu masuk kesana-Apotik di sebrang halte lalu membawa kantung plastik super bersih kearah-ku.

Kira-kira apa yah isinya? Jangan-jangan racun atau asam klorida, apa cewek ini sudah muak karena aku selalu percaya diri soal ketampanan-ku hingga dia mau menyiram wajah tampan-ku dengan zat itu, jika benar-aku harus melarikan diri sekarang juga.

"Ini bukan racun atau asam klorida" aku melongo dia bahkan bisa baca pikiran, mengerikan, "kaya-nya gue emang kelihat kejam banget yah di otak loh" cewek itu tersenyum tipis, jenis senyuman yang membuat orang melihatnya menjadi tidak enak rasa, seperti aku kini.

Betadine, Kapas dan Salep!

Oke aku sudah salah duga, gadis itu terlalu baik hingga mencoba mengobati lebam dan lecet di wajah tampan-ku ini, tidak seharusnya aku berpikir buruk tentang-nya.

"Kok loh baik sih hari ini?"tanya-ku membuat cewek itu langsung tersenyum simpul, jarang-jarang loh aku menemukan cewek ini tersenyum manis di depanku, biasanya dia selalu menunjukan wajah masam atau tampang jutek-nya.

"hmm~Gue lagi sedekah kebaikan aja hari ini"jawabnya mulai mengobati-ku.

"Dikira aku pengemis apa"kataku. Dia tersenyum lagi.

Hening kemudian, dia sibuk mengobati-ku.

Untung saja halte ini sepi kalo rame sih bisa-bisa jadi santapan penglihatan orang-orang, mereka akan se-enak jidat menggosipkan kami pasangan muda kasmaran yang baru saja berkelahi, oh sungguh aku memang berharap tentang pasangan muda dan yah kasmaran itu, tapi untuk berkelahi ku rasa itu terdengar mengerikan, berkelahi dengan Hana-tidak mau. Cewek itu bisa sangat buas jika saat marah bahkan lebih mengerikan dari apapun yang menakutkan di dunia, aku bahkan lebih memilih berkelahi dengan Alam jutaan kali ketimbang berkelahi dengannya, Soalnya apa?. Pertama kalo dengan Alam aku bisa membalas dan kami sama babak belur oke itu seimbang tapi kalo dengan Hana aku tidak bisa melawan karena sudah dari dulu aku meletakan aturan pertama dalam kamus-ku kalau aku tidak akan menyakiti perempuan, jadi bisa kalian pastikan jika Hana berkelahi sekuat tenaga dengan-ku sudah di pastikan diriku tidak berbentuk lagi.

"Eh?"

"Apa?"aku meliriknya, mata kami bertemu. Hitam dengan cokelat madu, irisnya berbinar tertimpa terang matahari, indah sungguh.

Aku terdiam sibuk mengagumi.

Dia pun tak lebih sama.

1 detik...

2 detik....

3 detik..

"Gue harap lo gak akan ikut campur lagi dengan masalah gue!"ucapnya, seperti di sembur oleh air dingin aku mengerjap berulang kali, menyadarkan diri.

Dia berubah kembali. Menjadi tak tersentuh. []

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 10, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Fanboy Wanna-beWhere stories live. Discover now