36 Ketakutan

58.3K 7.5K 612
                                    

Syera menatap suaminya yang diam, sejak mereka masuk kembali ke dalam kendaraan pria itu. Dalam hati ia berpikir apakah ada yang salah dengan ucapannya tadi? Bukankah Erik yang bertanya dan dia hanya menjawab?

Atau ini tentang ego pria itu yang tersentil karena ucapan ayah Syera mengenai perjuangan? Kalau ia tahu Andra mengatakan hal itu ia tak akan menceritakan apapun tentang perjuangan Shaka.

"Udah makan kok masih lemes, sih?" tanya Syera yang kemudian mendapatkan senyum ringan dari sang suami.

"Penutupnya kan belum," jawab Erik kemudian dan menyempatkan diri untuk mengecup puncak kepala Syera yang bersandar di bahunya.

"Omongan papa jangan di pikirin, ya? Kayak kata kamu tadi, kamu ada perjuangan sendiri untuk sampai ke tahap ini."

Karena orang lain tak pernah tahu bagaimana kehidupan pernikahan mereka. Orang tak pernah tahu kalau begitu banyak perdebatan yang menguras emosi, yang terus saja mereka lalui dan berhenti ketika akhirnya Syera menyerahkan diri pada pria besar ini, yang begitu banyak mengalah padanya. Dia begitu tahu kebesaran hati yang Erik miliki untuknya.

Syera tersenyum, menciumi lengan suaminya. "Dulu aku nyesel kenapa datengin kamu untuk nikah. Kenapa bukan Shaka aja."

Sekilas Erik menatap puncak kepala istrinya. Apa yang Syera rasakan juga ia rasakan. Dia pernah menyesal mengapa memilih menikahi Syera. Terlebih hubungannya dengan wanita ini juga tak begitu baik. Dia mengenal Syera ketika Rika membawa wanita ini ke rumah mereka ketika ia pulang.

Kemudian mereka semakin mengenal ketika Syera membantu program diet Rika bersama dengan dirinya yang membantu Meta untuk kurus pula kala itu. Namun hanya saling mengenal tanpa pernah berkomunikasi lebih seperti bagaimana Syera yang bisa langsung cocok dengan Rian, padahal baru bertemu satu tahun sebelum Syafa Gym resmi dibuka.

Pada beberapa kali pertemuan, mereka berdua malah terlalu sering melemparkan tatapan tak suka. Tapi tak membenci juga. Hanya saling tak suka karena pernah mengalami kejadian tak mengenakkan.

Syera yang saat itu masih berusia delapan belas tahun dibawa Rika ke apartemen Erik. Tapi memang Rika sialan. Meninggalkan Syera di apartemen Erik sendirian, sementara Rika yang katanya ingin membeli makan malah kepincut pria yang mengajak berkenalan.

Saat Erik pulang bersama Meta ke apartemennya, Syera si gadis yang serba ingin tahu itu ditemukan dalam keadaan tengah meniup kondom yang ditemukan di atas kulkas.

Dan dengan polosnya wanita itu mengatakan. "Maaf bang, balonnya aku tiup. Aku pikir tadi permen." Lalu terkikik tanpa dosa. "Abis bosen nunggu Rika dari tadi ngga datang-datang. Ini balon apa sih, bang? Ditiup sampe gede ngga pecah-pecah. Berminyak banget pula. Apa ini yang bikin balonnya kuat, ya?"

Jika saat itu Meta tertawa sekencang-kencangnya. Maka Erik marah dan kesal sejadi-jadinya karena Syera sudah lancang mengambil barangnya. Hebatnya, ketika ia memaki, Syera malah balas memaki. Terlebih ketika wanita itu tahu jika yang ditiup adalah kondom. Ia makin memaki pada Erik tak karu-karuan. Tak peduli dia yang asal membuka bungkus kondom tanpa membaca tulisan yang tertera pada bungkus.

Kenangan aneh yang membuat keduanya tak bisa saling terbuka bahkan setelah jadi teman. Tapi hebatnya sekarang mereka malah menjadi suami istri, yang merubah cara debat mereka dengan pergulatan panjang di atas ranjang. Sesekali. Karena ternyata melakukan selain di kamar jauh lebih berkesan.

"Tapi dulu." Wanita itu mendongak, kembali mengagumi pahatan sempurna Sang Pencipta pada pria besarnya ini. "Sekarang ngga nyesel." Terlebih saat sadar, jika kini tubuhnya hanya bereaksi pada sentuhan Erik. Dia sendiri juga tak mengerti mengapa bisa begitu. Hubungan mereka yang seperti ini bahkan baru dijalani selama satu minggu. Tapi hanya karena satu kali mempersembahkan diri untuk jadi santapan si babon dewasa, Syera malah ingin terus mengulanginya. "Soal aku dan Shaka...." Dia menyesal karena hubungan mereka tak bisa berlanjut. Mengingat apa yang mereka lalui dulu. "Aku cuma perlu waktu." Dan mungkin sebaiknya ia segera memutuskan Shaka sebelum hubungan mereka mengambil banyak waktu. Tapi ... sekali lagi ia bingung bagaimana cara memutuskan pria yang selama beberapa hari ini terus menghubunginya, namun tak ia respon sama sekali. Karena itu ia mematikan ponsel, demi waktu liburannya tak terganggu oleh Shaka.

Perfect AgreementWhere stories live. Discover now