Petak Umpet

Mulai dari awal
                                    

"Coba dulu, yuk! Soalnya lapangan di sini kan cuma yang tanah lapang dan yang di depan rumah itu," bujuk Gery.

Masing-masing dari kami pun mengangguk ragu-ragu.

Selama beberapa menit di perjalanan, kami telah sampai di depan rumah kosong tersebut. Terlihat angker memang. Apa lagi di depan rumahnya  menjadi sarang kelelawar dan jaring laba-laba. Ditambah dengan patung orang seperti penerima tamu. Tatapannya tajam dengan senyum yang terlihat menyeringai. Rumput-rumputnya pun sudah sangat tinggi. Catnya sudah agak pudar dan hampir mengelopek dengan pagar yang berkarat. Mirip seperti besi tua yang hendak dirongsokan.

"Hei, bengong!" Suara Gery berhasil membuatku tersadar dari lamunan.

"Elsa, kau kan pemberani. Mari masuk duluan!" perintah Gery sembari memberi aba-aba.

Elsa mengangguk tanpa ragu. Kami bersama-sama menuju lapangan depan rumah tua itu. Tempatnya terbilang luas, lebar, tapi sepi. Itulah yang mungkin menyebabkan seseorang enggan melewati depan rumah ini sendirian.

"Ayo kita hompimpa! Yang beda sendiri jaga, oke?" Silla nampak meminta persetujuan kepada yang lain.

Kami semua sama-sama mengangguk. "Hompimpa alaium gambreng!" Seru kami bersama.

Ternyata Gery mendapat giliran untuk berjaga.

"Aku hitung satu sampai dua puluh ya. Bersiaplah," ucap Gery yang langsung mengambil aba-aba untuk menutup matanya.

"Satu ...."

"Dira!" panggil Ujin.

Aku yang sedang berlari pun akhirnya berhenti dan menolehkan kepala kembali. "Ada apa, Ujin?" tanyaku.

"Aku sembunyi bersama kamu, ya? Aku takut," lirihnya sembari memasang wajah penuh permohonan.

Aku mengangguk. "Ayo cepat! Di belakang tembok besar itu saja," ajakku sembari berlari disusul Ujin dari belakang.

Kami sama-sama diam menatap satu sama lain. "Aku takut," gumamnya sembari mendekap tubuhnya.

Aku memeluknya. "Ada aku, Ujin. Tenang saja. Sekarang kamu Aamiin-kan. Aku akan berdoa untuk keselamatan kita," perintahku yang ditanggapi anggukan darinya.

Aku merapalkan do'a ayat kursi sebanyak 3 kali. Dengan khidmat kami sama-sama memohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa.

"Aamiin ya Rabbal alamiin," ucap kami berdua untuk menutup doa.

"Nah, kalian ketahuan!" Gery menatap kami dengan tawa yang meledak.

"Yah, masa cepat sekali. Belum puas nih aku ngumpetnya," ujar Ujin yang terlihat kesal.

Aku mendekati mulutku ke telinga nya. "Bisa saja kalau kita tidak berdoa dan Gery tidak menemukan kita detik ini juga, ada sesuatu yang akan terjadi pada kita," ujarku mengingatkannya sembari tersenyum.

Ia terlihat takut dan langsung mengangguk-anggukkan kepalanya dengan cepat.

"Kalian tunggu di depan situ tuh!" Gery menunjuk bangku di seberang rumah kosong ini.

Kami menurut saja. Asalkan kami tidak membuat onar di sini. Tentu hal itu tidak akan menjadi sebuah masalah.

Aku menatap jalanan yang kosong melompong.

"Dir, kok aku ngerasa merinding ya," keluh Ujin dengan sedikit ringisan.

Saat aku menoleh ke arahnya .... "ALLAHU AKBAR!" pekikku.

Aku terjatuh dari bangku tersebut. Di sampingnya ada sosok yang mirip dengan patung yang kubicarakan tadi. Dia menyeringai lebar. Wajahnya penuh koreng yang hampir membusuk. Mual aku melihatnya.

Bisikan Mereka ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang