Menggapai Asa

12 0 0
                                    

"pulang langsung kemana, In?" tanya Bayu selesai perkuliahan siang ini.

"pasar" jawabku singkat sembari merapikan buku-buku.

"ngapain? Blanja?"

"kerja"

"kamu kerja di pasar? Jadi apa?"

"ya tukang jualan lah Bay"

"jualan apa emang kamu Dir? Punya toko yah, toko apa?"

"aku kerja di kaki lima, itupun bukan punya aku, jualan pakean dalem,, mau beli?" terangku agak sedikit kesal, selama ini memang tidak pernah ada yang tanya soal latar belakangku, Cuma si Bayu ini rada nyolot dan ngeselin pengen tau terus urusanku.

"masa sih, kok kamu bisa kulyah?" tanyanya masih tidak percaya.

Aku tidak suka orang terlalu banyak tahu soal hidupku, memang mereka mau apa? Atau mungkin aku sedkit malu dengan kondisiku sendiri, sedang akupu tak pandai berbohong. Aku memang hidup sendiri di kota ini melanjutkan kuliah dari hasil kerjaku di kaki lima, dengan membantu sebuah keluarga Minang yang berjualan pakaian dalam di atas lapaknya, keluarga yang sangat baik, mengijinkan kulyah disela-sela waktu berjualan, dan mereka tidak memotong upahku, tetap memberikan jumblah yang sama seperti satu karyawannya yang lain.

Aku lekas meninggalkan kelas dan Bayu yang masih keheranan dengan pengakuanku. Teman yang lain ikut mentapku, tapi aku sedang tidak ingin membahas.

Di dalam koasi (angkutan kota) aku terus saja memikirkan keterusteranganku tadi pada Bayu, bukan Bayu saja yang mendengarkan percakapan kami, teman-temanku yang lainpun pasti dengar. Selama tiga semester aku bisa merahasiakan latar belakangku sesungguhnya. Tidak ada yang mempertanyakan siapa aku, tinggal dimana dan bagaimana kehidupanku. kebanyakan teman-teman di kampusku, punya keluarga atau tinggal di kosan tapi tetap semua biaya hidup ditanggung keluarganya, aku membiarkan mereka berasumsi seperti itu terhadapku. Selama tidak ada yang bertanya aku tidak perlu bersusah menutupi. tapi satu hal, aku tidak pernah berbohong pada teman-temanku tentang siapa aku, aku hanya berusaha menyembunyikan.

pesan Bapak yang selalu kuingat ketika mengantarkan kepergianku dari desa kecilku, delapan tahun yang lalu selulus sekolah dasar (SD). "Dira, ari kabatur ulah sok ngabohong nya, ulah sok era ngaku urang teh saha teuing kumaha oge, mending cicing daripada ngabohong. urang kudu boga harga diri, bapa mah nitip eta weh, sing jadi jalma sukses neng teh nyah"* kadang untuk menghilangkan rasa malu aku masih sangat sulit, maka aku pilih pesan ketiga yang bapakku sampaikan, diam daripada berbohong. Pada saa itu, aku yang hanya seorang anak berusia dua belas tahun hanya menahan tangis, aku tidak mau bapak tahu aku sangat sedih dengan perpisahan itu. Itu keinginanku, bapak tidak pernah memaksa aku untuk masuk asrama panti asuhan yang cukup jauh dari kampung halamanku.

Aku yang meng-iya-kan tawaran seorang ibu guru untuk membawaku keasrama panti asuhan kenalanya, ketika mendengar bapakku tidak bisa membiayai aku untuk menerukan sekolah. Maka tinggalah aku di asrama panti asuhan di sebuah kota di pinggiran Jakarta sampai lulus sekolah Menengah Atas (SMA). Karena jatah di asrama memang hanya sampai SMA.

Aku mulai hidupku yang baru di sebuah petakan rumah kontrakan kecil yang bertarif 200 ribu per bulan. Aku mulai mencari kerja dengan modal ijazah SMA-ku, kota ini memang memiliki banyak pabrik, tapi aku sendiri tidak pernah tertarik untuk bekerja di pabrik, aku sangat benci dengan pemodal-pemodal yang menjadikan penduduk lokal bagai sapi perahan mereka. Menekan upah serendah-rendahnya untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Dan aku tidak pernah ingin memjadi salah satu sapi perahan mereka.

Tapi ternyata memang sulit, hanya dengan ijazah SMA aku tidak bisa memasukan lamaran ke kantor-kantor. minimal harus mengantongi ijazah Diploma baru bisa menaruh lamaran di kantor. Itupun baru menaruh, belum tentu diterima, masih harus punya koneksi di dalam untuk bisa diterima bekerja, belum lagi kita mesti membayar orang tersebut.

Aku tidak mau ambil pusing, Maka dengan modal kebisaanku berbahasa Minang, yang kupelajari dari teman-temanku di asrama yang hampir 50% adalah berasal dari Sumatera Barat, aku menyimpan kembali ijazah SMA-ku ke dalam tas rapat-rapat aku memutuskan membantu sepasang suami istri orang Minang yang berjualan pakaian dalam di sebuah pasar kaki lima yang cukup besar di kota singgahku. Lapaknya cukup besar, mereka dibantu satu karyawan, suaminya hanya membatu buka dan tutup saja. Dan untuk menjaga dari pagi sampai malam, dia membutuhkan satu karyawan lagi. Maka jadilah aku bergabung. Dengan upah harian tiga puluh ribu per hari.

Satu tahun kemudian, setelah kurasa uang simpananku cukup, aku mengutarakan keinginan besarku sedari dulu, untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi. Mereka tidak keberatan, mereka menghargai semangatku. Mereka mendukung.

Dan aku mesti siap-siap ketika teman-teman di kampusku mulai bertanya lebih dalam tentang siapa aku? Aku yang mantan anak panti asuhan dan seterusnya. Biarkan saja, itu keputusanku akhirnya. Karena aku tidak mungkin terus bersembunyi. Aku harus punya banyak teman, aku harus menjadi diriku sendiri dihadapan mereka. Jika tidak, maka aku hanya akan jadi penonton yang tak bisa mengambil peran.

Seperti tempaan logam bara pada pedang agar bisa menjadi senjata yang tajam dan berguna. Maka Waktu terus menempaku, panas dan perih. Kakiku harus terus melangkah, ini hanya awal kecil dari pahitnya tempaan, akan banyak lagi tempaan-tempaan yang akan datang menghampiriku. Indira tidak boleh kalah.

Koasi yang ku tumpangi terus melaju. di sepanjang jalan, begitu banyak orang yang tidak seberuntungku. Bayi yang di jemur ibunya untuk mengais rejeki di lampu merah, preman-preman yang meminta uang terang-terangan ke tiap penumpang koasi yang lewat. Anak-anak kecil mengamen dengan pakaian kumal. Mereka saja masih bisa tersenyum menikamti kepahitan. Apa lagi aku, Tuhan begitu banyak menghadirkan orang-orang baik di sekelilingku. Memberikan kesempatan untuk ku bukan hanya sekedar bisa bertahan hidup di kota singgah ini, tapi juga mengejar mimpi, mimpi yang dititipkan oleh bapakku delapan tahun yang lalu.

*******

"manga ko lamo, Dira?" si uni, bosku bertanya sesampainya aku di pasar.

"iyo ni, maaf, dosennyo lamo mangece teruih, hehehehehe" jawabku sambil bercanda

"kau demo lah dosen kau, indak usah mangece' banyak-banyak, kau mesti manggaleh di pasar, kau karajo" terangnya mesti dengan logat agak kasar, tapi ia tidak benar-benar marah, ia hanya bercanda.

"bisuak awak bilang, niang"

Sore pun bisa ku lewati, lalu malam, lalu pagi lagi. Di kamar kontrakanku dipinggir rel kereta, ditemani suara gemuruh kereta melaju, ku tulis hari-hariku. (avb)

********************

true story about my life... ini ditulis pas bener-bener zaman kuliah, mungkin 7 atau 8 tahun yang lalu (lupa juga kapan pastinya). maaf kalau kurang asyik buat dibaca, saya memang kurang bisa nulis cerita, lebih sering nulis puisi dari zaman SMP dulu, tapi coba-coba ini ga pernah saya coba lagi sampe sebulan yang lalu mulai nulis cerita, tapi sampe hari ini juga ga kelar-kelar :-) 

PENGGALAN KISAH INDIRAWhere stories live. Discover now