N: Lili Air

382 65 16
                                    

Satu lesutan rotan pendek itu lagi-lagi menampar keras betis Suri. Kontan sensasi senyar langsung merambati tubuhnya. Giginya bergemeletuk tertahan. Ia bekap mulutnya agar tidak ada teriakan yang meluncur bebas. Meski ingin rasanya menjerit sejadi-jadinya karena bekas pukulan rotan kemerahan itu akan bertambah banyak.

Suri lupa bahwa pagi ini cucian di asramanya sudah menggunung. Mana pula pekerjaan rumah tata krama dari sekolah keseniannya juga masih belum ia selesaikan. Buku-buku cetak pedoman kode sipil negara pinjaman yang harus ia hafalkan sampai lewat tengah malam, juga belum dikembalikan ke perpustakaan balai kota. Seharusnya, ia sadar betul bila mencuci pakaian seminggunya sekaligus akan memakan waktu hingga ayam berkokok nyaring. Lebih-lebih bulan ini sudah terhitung sebanyak tujuh kali, ia terlambat mengikuti jadwal latihan menari tradisional desanya.

Sementara, wanita kempot bercepol itu masih berdiri menjulang. Layaknya ular kobra yang hendak mematuk anak ayam, matanya melotot pada gadis empat belas tahun itu. Tiba-tiba tangan berbalut selendang terawang teracung ke atas. Suri pun memejamkan matanya erat.

"Keluar!"

Suri yang meringkuk di lantai kayu serambi kuil tersentak. Matanya terbeliak nyalang. "Ja-jangan usir aku ...."

Namun, kemelut pada wajah pelatih menari itu makin terlihat sangar.

"Kali ini tidak ada kesempatan bagi yang terlambat tiga hari berturut-turut! Keluar, atau aku akan menyuruh keamanan menyeretmu secara tidak terhormat!"

Suri yang gelagapan, langsung berlutut. "Tapi, Nyonya Ronah, izinkan aku mengikuti pelatihan geladi resik ini terakhir kalinya! Aku janji tidak akan terlambat. Aku juga tidak keberatan jika jam latihanku diperpanjang hingga malam," rengeknya seraya memeluk kaki Ronah yang tertutupi oleh rok berlapis-lapis tipis.

"Kaupikir ini semacam lelucon! Kau sering terlambat, berarti kau tidak menghargaiku, dan kau tidak mampu mengatur waktumu. Aku tidak peduli apa saja yang kaukerjakan di asrama sana, kau sudah menyepelekanku sebagai pelatihmu! Lihat, penari muda di bawah tingkatmu, mereka selalu tepat waktu! Kau tidak pantas menjadi panutan mereka! Keluar sekarang dan jangan pernah kembali!"

Keributan di awal pagi itu kontan saja membuat sebagian penari muda yang sedang latihan di serambi altar tempat puja berbondong-bondong keluar. Kasak-kusuk mulai merebak. Beberapa terkikik dan cibiran terhadap sikap Suri terdengar tumpang-tindih.

Melihat Suri tak lekas beranjak, Ronah angkat kaki dan menyeret gadis itu lalu mendorongnya hingga terjerembap ke halaman becek. Tak membuang waktu, Ronah membanting pintu kayu tempat latihan tari, sekaligus meninggalkan Suri yang mulai terisak.

"Suri, Suri, Suri Sayangku~. Kenapa kau terus menyimpan hobi terlambatmu itu, hm?" Seorang penari dewasa tampak bersedekap dan bersandar pada pilar kayu kelapa terkekeh. Dengan raut wajah mengintimidasi, ia menuruni anak tangga, menimbulkan helai gaun penuh selendang yang didominasi merah cempaka itu berjuntai. Ia menghampiri Suri dan menarik dagu gadis itu hingga mendongak ke arahnya. "Kau tidak akan menjadi pencari hebat jika datang ke pelatihan saja masih tidak konsisten. Bayangkan, kalau kau telah menjadi penari profesional, tapi terlambat menghadiri acara mewah itu. Menurutmu, apakah orang beruang banyak itu akan memakai jasa hiburanmu lagi, hm?"

Melihat Suri yang hanya berlinangan air mata, wanita dewasa itu kembali beranjak memasuki bilik ruangan lain untuk berkumpul dengan penari muda lainnya. Namun, sebelum benar-benar meninggalkan Suri sendirian, ia menoleh sejenak sembari tersenyum miring.

"Kau sudah gagal, Suri. Menyerahlah dan pulang saja ke kampung kumuhmu itu."

Tidak sampai di situ, si penari dewasa mengernyih mendapati betis Suri seputih gading yang ternodai oleh bercak lumpur dan luka memar. "Menjadi pelacur bukan hal yang sulit bagi gadis manis sepertimu," Lanjut si penari seraya meluruhkan sarkasme terakhirnya.

GenreFest 2018: Fluffy RomanceWhere stories live. Discover now