Memang Karedok Tuh, Ya

634 89 26
                                    

"Heh, Santen, lu mau balik kagak?" tanya Deo dari balik pintu kelas.

Sekarang pukul lima belas, sudah jam pulang sekolah. Ketika biasanya anak-anak kelas sepuluh lebih memilih untuk duduk nongkrong bermain kartu dan juga merokok, Deo lebih senang pergi ke plaza elektronik; mencari kepingan CD game untuk dimainkan di XBox 360 di rumahnya.

Hari itu ia berencana untuk pergi ke sana bersama dengan Kara dan juga aku yang kebetulan, sejak kami masih kecil, rumah kami berdekatan. Hanya saja....

"APA SIH?" namanya Kara. Anaknya manis sih, tapi mulutnya kalau sudah nyerocos seperti botol yang ngeluarin sambel, "Nama gue Kara, bukan Santen!"

Di angkatan kami, Kara mungkin satu dari seratus anak yang memotong pendek rambutnya. Kacamata yang membingkai wajahnya membuat gadis itu tampak galak. Kasar, kayak cowok, hobinya baca komik dan juga main game; belum pernah pacaran karena...sepertinya teman-teman cowoknya juga menganggap Kara bukan perempuan. Cewek itu pun merasa nyaman saja dengan situasi ini.

"Yha, terus Kara tuh merk apa? Santen kan? Ya udah sih," ujar Deo, "Cepetan 'napa? Mau nyobain game baru nih!"

"Ih, sabar! Kan mesti dibeli dulu juga. Tokonya juga enggak bakal pergi ke mana-mana kan?" Kara tengah mengemas barang-barangnya, mejanya berantakan dengan alat tulis dan juga buku-buku sekolah.

Aku dan Deo sekelas, tapi tidak dengan Kara. Mudah bagiku dan Deo untuk menyocokkan jadwal, tetapi dengan anak ini mulai sulit. Apa lagi ketika sudah banyak kerja kelompok yang mengharuskannya untuk tinggal lebih lama. Sementara itu, kedua teman perempuan Kara yang sedang mengerubunginya langsung menatap Deo dengan senyum penuh arti.

"Tuh dicariin Aa' tuh," goda temannya yang dikenal sebagai Ranti.

"Ciye pulang bareng."

Kara tampak gemas, "Idih," cibirnya sembari membanting tas di atas meja, "Nanti gue enggak pinjemin Nitendo DS-nya lho! Kalian kan penasaran ending tokimeki sama Masaki gimana 'kan?" teman-temannya mengerang, nada Kara semakin tinggi, "Emangnya kenapa sih? Kan gue udah sering pulang bareng, ini juga bertiga sama Indra."

"Kok bawa-bawa gue?" tanyaku sembari mengerenyit. Aku yang dari tadi ada di belakang Deo langsung mengintip dari balik pintu.

"Ah lama lu, dasar, Santen!" Deo menghentakkan kakinya ke dalam ruangan, menghampiri Kara yang kursinya di tengah kelas. Ia berdecak melihat meja temannya yang berantakan, "Belajar apa sih semuanya sampe dikeluarin begini?"

"Ih, bawel amat sih, De. Ini namanya totalitas. Sabar dong, ini kan baru selesai kelasnya," Kara masih merapikan bukunya dan mengambil pena, pensil, juga penghapus dan menjejalinya ke dalam tempat pensil.

"Sekolah kan bubar jam 2:15; mana mungkin belajarnya baru kelar? Lu males aja buat beres-beres ini sih. Lu pasti langsung main DS lagi ya, cari pacar virtual, " tuduhnya. Meskipun Deo marah-marah, dia membantu Kara untuk merapikan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas, sembari sesekali bertanya bagaimana urutan bukunya dimasukkan, "Gini nih main pacar-pacaran di DS, di dunia nyata jomblo terus sampe sekarang!"

"Berisik Deo, lu juga sama aja. Mau beli Dragon Age 2 supaya bisa itu sama Isabella kan?"

"Ngarang! Ini tuh diulas di majalah emang bagus ratingnya! Enggak salahlah buat beli dan main sendiri."

Dan perdebatan tanpa arah ini terus berlanjut hingga mereka selesai berkemas. Aku mengerling, telingaku rasanya sudah panas mendengar mereka selalu adu mulut dari pagi sampai sore. Mau melerai malah balik dimarahi. Kedua orang ini memang hebat.

GenreFest 2018: Fluffy RomanceWhere stories live. Discover now