Catoptric Tristesse

14 2 0
                                    

"Hei, bukankah dia itu..."

"Lihat siapa yang datang!"

"Astaga, aku tidak menyangka dia masih berani menampakkan diri..."

"Bagaimana bisa dia ada di tempat ini?"

Cibiran, hinaan, olokan, datang silih berganti. Bahkan tak memberi ruang kepada otak untuk memproses apa sebenarnya yang tengah terjadi.

Walau tahu, tapi enggan mengungkit kembali.

Menebalkan gendang telinga, tubuh terdudukkan di bangku hitam. Sekali lagi mencoba menghalau suara yang senantiasa berdenging, laiknya lebah pada musim kawin. Sayangnya, lebah-lebah itu memasuki pikiran. Menjelma menjadi sesuatu bernama trauma.

Sosial?

Orang?

Lingkungan?

Hubungan?

Apa itu? Bahkan mencari sekadar artinya pun tak sanggup. Sungguh. Ini bukan saat yang tepat. Harusnya saat ini seperti kata orang-orang.

Masa SMA adalah masa yang tak terlupakan.

Hah. Gosip murahan.

Bermaksud mendinginkan suasana, sebuah lagu favorit terdengar. Bukannya membaik, malah menjadi garam penyedap terhadap apa yang tengah terjadi.

Sekali lagi, otak berproses. Mencerna apa saja yang baru dilakukan. Mengolahnya menjadi suatu informasi yang sayangnya tidak bisa dimanfaatkan.

Semuanya sia-sia. Seperti susu yang tumpah dari tempatnya.

Untuk beberapa jeda, sesuatu melankolis memasuki indera. Pertanyaan sederhana, tapi membuat air mata menderas dengan nyata.

Mengapa raga tersebut harus diberi nyawa, jika pada akhirnya semua menjadi dusta?

Melelahkan diri dalam aktifitas bernama sosialisasi, jiwa merasa sengsara setengah mati. Energi terkuras habis hanya untuk ocehan yang tak dimengerti. Lantas semakin menjadi kala diminta untuk mengungkapkan isi hati.

Hey, are you kidding me? It's bullshit!

Berkedok hubungan antar manusia, nyawa terjerat sempurna. Menjadi budak nyawa lainnya, yang terkekeh penuh suka di atas derita.

Peduli? Itu tidak ada di dalam kamus.

Memedulikan atau dipedulikan, jangan dibicarakan. Itu hanyalah sebuah omong kosong berujung kehampaan. Menghambakan diri pada suatu hubungan? Tertawa alam mendengarkan.

Untuk ke sekian kalinya, rekaman di kepala memutar setia apa yang telah ia dengar. Konsumsi sehari-hari semenjak dini. Membentuk pribadi katanya, padahal nyaris mati aslinya. Sungguh. Ucapan manusia adalah hal terlucu di semesta.

Sekali lagi, pertanyaan itu melontarkan diri. Meminta untuk dijawab, padahal tiada yang mampu untuk melakukannya.

Mengapa diberi kesanggupan padahal aslinya kan terpatahkan?

Sekarang, apa lagi yang ditunggu?

***

Sebuah temali melingkari leher putih. Segera mengerat begitu beban terasa berat. Setidaknya itu harus bertahan sampai sebuah nyawa terlepaskan.

Meluruh dalam keabadian.

[Hiatus] Random [Author's Book]Where stories live. Discover now