DLARELAND

525 64 7
                                    


"PEMERINTAH memberi waktu tiga hari untuk mengosongkan kota ini!"

Bukan pertama kalinya Noel mendengar berita itu. Baru-baru ini, berita itu memang tersebar secepat angin di kota Dlareland, kota kelahirannya yang belakangan ini memang sering menjadi sorotan publik.

Sebelum mulai disorot media massa, Dlareland tidak pernah dikenal dengan sebutan apa-apa. Hanya sebuah kota kecil dipelosok yang memiliki nama Dlareland. Keberadaannya jauh dari ibukota, lebih pahit daripada sudut-sudut kota besar yang belum pernah terurus.

Pascaperang dunia ketiga, jangankan bantuan dari pemerintah datang. Masuk ke dalam catatan daftar anggaran negara pun tidak. Menyedihkan, memang.

Populasi Dlareland merosot turun sejak berakhirnya perang dunia ketiga yang menyebabkan lebih dari 40% warga di sana gugur dalam medan perang. Baru sebulan berlalu sejak pemberitahuan resmi tentang berakhirnya perang dunia ketika antara negara Amerika Serikat dan Rusia, dan hari ini seluruh penduduk di kota itu mendapatkan pemberitahuan yang lebih mengejutkan.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Dlareland akan digusur habis, lalu akan dijadikan sebagai kawasan industri oleh pemerintah."

Jawaban sesingkat itu telah menjelaskan semuanya. Separah apapun keadaan ibukota setelah pengeboman dua hari berturut-turut dan berapa puluh pesawat tempur yang hancur di udara, perekonomian negara setelah perang memang sulit untuk dikontrol kembali.

Ternyata benar kata orang-orang zaman dulu, perang memang hanya menghabiskan uang.

"Sebagai gantinya, seluruh warga Dlareland akan mendapatkan jaminan kerja yang layak di kota besar."

Noel menganggukan kepala termanggut. Selanjutnya, dia menyadari hal yang membuat kekacauan di kota itu.

"Lalu, bagaimana caranya kita ke kota pusat?" tanya Noel.

Tidak ada yang salah dengan pertanyaan dari lelaki berumur tujuh belas tahun itu. Dia ingat persis bahwa semua jalur transportasi sudah ditutup lama sebelum perang berlangsung. Jalur langit adalah jalur yang berbahaya karena mereka tidak segan-segan menembak pesawat itu dari bawah hingga meledak di udara, hal ini dikarenakan banyaknya pesawat ilegal yang terbang di atas langit daerah kawasan perang.

Jalur laut juga tidak menguntungkan. Sejauh yang Noel ingat, hampir tidak ada kapal yang pernah kembali, baik itu kapal perang sampai perahu paling sederhana sekali pun. Pernah ada penemuan mayat di pinggir pantai dan jasadnya sulit untuk diidentifikasi, sulit dikenali akibat telah hancur.

Menurut banyaknya kabar yang beredar, katanya pemerintah membuat organisasi rahasia di laut, menangkap manusia-manusia untuk dipekerjakan dalam misi rahasia, lalu akan dibuang ke laut apabila tidak lagi menguntungkannya. Tidak ada yang pernah tahu maksud dari organisasi rahasia, tetapi mengingat perang dunia ketiga telah berakhir, sepertinya tidak ada lagi yang perlu dicemaskan tentang organisasi rahasia menurut kabar burung itu.

Jalur darat mungkin saja bisa, tetapi mengingat banyaknya aspal yang pecah dan asap yang mendominasi hampir seluruh kota, hal ini memungkinkan adanya risiko besar dalam perjalanan.

"Kau tidak tahu?" tanya pria asing tak dikenal itu.

Noel sendiri juga bingung dengan defenisi tidak pernah berbicara dengan orang yang tidak dikenalnya, sebab tentara lebih menyeramkan untuk dihadapi daripada orang asing berperawakan tinggi, kurus seperti pria di depannya.

Duduk di antara bebatuan-bebatuan yang hancur dan menyaksikan beberapa orang yang berlarian membawa barang bawaan mereka bukanlah hal yang menyenangkan untuk disaksikan. Kenyataannya asap tebal ini menghalangi pandangan yang ada. Suara yang timbul menunjukan bahwa orang-orang yang berlarian bukan hanya puluhan orang yang tampak. Di balik asap, masih ada ratusan orang yang tidak terlihat.

"Maksudmu kemana orang-orang ini akan pergi? Tentu saja aku tahu, mereka akan ke kota." Noel menjawab tanpa ragu. "Yang kuherankan, bagaimana caranya mereka ke kota?"

"Iya, kau sama sekali tidak tahu?" tanya pria itu.

"Tidak," balas Noel.

"Mereka sedang menuju ke stasiun kereta api. Katanya, itu kereta api terakhir yang beroperasi," jawab pria itu.

Noel memperhatikan orang-orang yang melintas sejenak, lalu menjawab pendek, "Oh."

"Oh?" Pria asing itu menahan senyumnya. "Kau tidak berminat membawa keluargamu untuk naik?"

Noel menjawab dengan nada bosan, "Kebetulan keluarga terakhirku sudah gugur bertempur di medan perang, jadi kurasa tidak?"

"Apa yang akan kau lakukan? Sayang sekali di usiamu yang masih muda ini," ujar pria asing itu dengan nada menyayangkan.

Noel menatap ke arah langit berwarna pucat yang memang selalu menjadi pemandangan sehari-harinya.

"Tidak tahu."

Keseharian seorang Noel sangatlah sederhana. Hanya berkeliling memperhatikan sudut kota yang tidak terawat, bersembunyi dari para tentara dan makan bersama keluarga asing yang ditemuinya setiap dia lapar.

"Kalau menurut pendapatku, kau hanya belum tahu apa yang ingin kau lakukan." Pria asing itu menepuk pundak Noel. "Cobalah ke kota besar dulu, mungkin kau bisa menemukan hal yang kau inginkan."

Noel menggelengkan kepala, "Meninggalkan Dlareland rasanya sangat berat. Beberapa waktu yang lalu, rumahku kebakaran dan semuanya hangus tanpa sisa. Satu-satunya yang tersisa hanyalah kota ini."

"Aku turut sedih," ucapnya simpati.

"Terima kasih untuk wejangannya, tuan." Noel berdiri dan menepuk debu dari celana jeans-nya. "Kurasa Tuan harus bersiap-siap daripada ketinggalan nanti."

Pria asing itu menahan Noel sebelum lelaki itu bergerak menjauh dari sana.

"Ayo ikut ke stasiun dulu, siapa tahu kau akan berubah pikiran."

*

Stasiun di kota Dlareland tidak semewah bayangan stasiun di kota-kota besar di negara maju. Tidak ada yang menunggu di belakang garis putih, karena kenyataannya stasiun Kota Dlareland belum pernah mengoperasikan stasiun kereta api, itu yang Noel ingat sejauh ingatannya bisa mengenang Kota Dlareland.

Kereta yang digunakan masih kereta uap berwarna hitam. Yang jika mencolek jari, akan meninggalkan jejak hitam di tangan.

Gerbong telah penuh oleh orang-orang yang memaksakan diri untuk masuk, sementara ada beberapa orang yang memasang sesuatu dari gerbong terakhir. Dari penglihatan Noel, mereka memasang gerbong buatan yang sederhana hanya agar mereka mendapat jaminan untuk ikut dalam gerbong itu.

Si Pria asing di samping Noel membantu mereka melakukan pemasangan. Sambil membantu mereka, pria itu bercerita bahwa dulunya dia memang berurusan dengan pemasangan mesin yang rumit. Dia juga mengatakan kepada Noel untuk membantu mereka, agar mereka tidak berpikir dua kali untuk menampung mereka berdua.

Saat suara peluit kereta api mulai dibunyikan, keadaan di sana semakin tidak terkontrol. Banyak yang akhirnya memutuskan untuk memanjat bagian atap kereta api tanpa memikirkan risiko yang mungkin terjadi. Banyak pula yang tetap memaksakan diri untuk masuk ke dalam gerbong walaupun memang penuh.

Noel dan pria asing tadi mendapatkan tawaran untuk menumpang di gerbong buatan yang dipasang mereka tadi, tetapi keputusan Noel tidak bisa diganggu gugat. Noel tetap pada pendiriannya untuk tidak ikut ke kota besar.

"Kalau begitu, kami jalan dulu. Semoga beruntung."

Noel tersenyum dan membungkukan badan. Terus dilakukannya seperti itu sampai kereta api itu membawa habis semua gerbong yang ada di stasiun.

Suara bising yang memekakan telinga pun menghilang bersama asap tebal yang menyelimuti kota Dlareland.

Noel mengeluarkan ponsel dari saku celananya yang lusuh, mendial nomor yang belakangan ini tidak dihubunginya. Bibirnya sedikit melengkung, saat mendapati suara tegas dari seberang telepon yang memang menunggu kabar baik darinya.

"Halo, Ketua. Lapor, ada seorang teknisi mesin berbakat di gerbong terakhir. Kurasa kau harus memeriksanya lebih lanjut. Sepertinya dia akan berguna untuk projek rahasiamu." 

GenreFest 2018: DistopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang