Lip Gloss

223 29 7
                                    

Suatu malam di bulan Oktober, aku mendatangi kosan Citra untuk menghadiri acara Halloween di kampus.

Citra adalah cinta pertamaku. Aku terbius oleh bibir seksi dan kedua manik hitam yang berbinar ketika tersenyum. Rasa itu muncul begitu saja sejak pertama kali bertemu, padahal kuyakin tidak hanya aku yang menikmati keindahan paras Citra, kebanyakan pria―terutama yang berduit―berlomba-lomba menukar perempuan itu dengan segepok-gepok uang.

Seorang pria berbaju zirah yang kebesaran―yang sepertinya dia salah kostum―menanyaiku, "Datang sendirian, bro?"

Kurasa pandangannya memang tenggelam ke dalam zirah itu sampai-sampai ia tak melihatku datang bersama Citra yang berbibir merah dan pucat ini.

Jujur saja aku tak suka ketika Citra memakai gincu berwarna merah. Kulebih menyukai bibirnya basah oleh lip gloss. Gincu merah itu membuatnya seperti pelacur. Aku pun tak ingin pupur berwarna putih pucat itu mengganggu wajahnya yang bersinar alami. Kubiarkan Citra seperti itu malam ini. Aku sayang padanya dan tak mau melukai hatinya.

Citra tak banyak bicara denganku malam ini. Bukan karena gincu yang kuprotes dalam hati, nampaknya ada hal lain yang mengganggu pikirannya. Aku belai rambutnya yang panjang, tetapi ia bersikap dingin. Dan sikap itu yang kusuka darinya. Hanya saja, malam ini kurasakan dirinya lebih dingin dari biasanya.

Redupnya pesta Halloween membuat wajah Citra lebih kaku, mungkin ia teringat pertemuan pertama kami di sebuah warung remang-remang di sudut kota yang electronic dance music-nya lebih mendominasi daripada genre musik lainnya, padahal kami sudah sepakat untuk tidak mengungkit masa lalu itu.

Semula Citra memang pandai memakai lip gloss dan blush on di pipinya agar lebih kemerahan. Kudengar Citra belajar menggunakan kedua benda itu dari Retno, seniornya. Retno pulalah yang mengenalkan Mas Bagus kepadanya. Awalnya aku biasa. Namun semakin ke sini, kedua benda itu perlahan merubah perangai Citra menjadi lebih tamak terhadap lelaki. Ia mulai mengganti lip gloss kesukaanku menjadi gincu, karena menurut Retno, merahnya lebih menarik laki-laki, terutama Mas Bagus. Ditambah, lelaki itu lebih banyak memberinya uang daripada aku.

Kuakui, aku cemburu terhadap hubungan Citra dengan Mas Bagus. Tetapi aku berusaha untuk tetap berpendirian mengangkat Citra dari kubangan kenistaan ke daratan mulia di atasnya. Dengan kapasitasku, aku meloloskan Citra ke universitas dan prestasinya mulai terlihat di dua semester awal.

Ternyata Citra tak mengerti tujuanku. Ia tetap mengejar harta dengan meladeni laki-laki kaya lainnya di warung itu. Ia memperoleh lebih banyak uang dari sebelumnya. Aku tak habis pikir. Kucoba melupakan apa yang telah terjadi dengan meneguk banyak botol bir sampai aku mabuk.

Malam Halloween jadi membosankan, akhirnya kuajak Citra pulang. Citra enggan membantuku berdiri. Ia membiarkanku payah berjalan sempoyongan. Ia malah menyingkir dan tak membukakan pintu mobil untukku, tetapi anehnya ia mau mengantarku pulang. Ah, baik sekali pacarku ini.

Kusadari tahu-tahu ada dua orang petugas berseragam menanyaiku di sebuah ruangan. Aku berusaha tak gagap menjawab pertanyaan mereka. "I―itu... bukan pisauku...."

Salah satu petugas bicara dengan menggebrak meja, "Citra tewas dibunuh di kamar kosnya tadi malam. Anda pelakunya, sebab pada saat kejadian Anda terekam CCTV di kamar itu!"

"Tak mungkin! Semalaman aku bersama Citra. Dia yang mengantarku pulang."

Petugas itu malah menampar wajahku. "Anda datang sendiri, tidak diantar siapa-siapa!"

Lip GlossWhere stories live. Discover now