Shirin

57 4 0
                                    


Bunyi adzan subuh membangunkanku untuk melakukan kewajibanku sebagai seorang muslim. Pelan-pelan kakiku turunkan dari atas tempat tidur, tanganku menekan tepian tempat tidur untuk membangunkan tubuhku untuk berdiri. Setelah berdiri tanganku menjulur ke depan mencari pintu kamar tidurku, dengan susah payah aku mencari hendel pintu. Setelah mendapatkan hendel pintu, aku membukanya, tanganku kujulurkan ke dinding sebelah kananku yang terdapat tali kecil yang di pasang oleh Bapak untuk memudahkanku menuju ke kamar mandi.

Kondisiku sekarang tidak seperti dahulu, aku mengalami kecelakaan saat menyeberang di jalan, buah hasil kecelakaan itu merengut semua penglihatan. Saat pertama kali membuka mata hanya melihat kegelapan. Aku sempat meminta Ibuku untuk menyalakan lampu karena tidak dapat melihat. Telingaku mendengarkan kepanikan Ibuku untuk memanggil seorang dokter untuk memeriksaku, hasilnya aku mengalami kebutaan. Aku tidak terima apa yang terjadi pada diriku, Aku menangis di dalam pelukan Ibu dan mengatakan apa salahku sampai harus mengalami ini.

Hari-hari pertamaku pulang dari rumah sakit sudah membuat repot Bapak dan Ibu, biaya rumah sakit yang tidak begitu murah, dengan perekonomian yang sangat terbatas. Bapak yang bekerja sebagai tukang bangunan dan Ibu sebagai pedagang sayuran di pasar membuatku merasa bersalah dengan beban yang aku berikan. Walaupun Bapak dan Ibu mengatakan tidak apa-apa dan menerima semua ujian dari Yang Maha Kuasa.

Dengan tabah aku menjalani kehidupan baruku, terkadang aku tidak sengaja menyenggol meja, bangku, dan bahkan menjatuhkan barang pecah beling sampai hancur. Apalagi di tambah yang seharusnya aku menjadi seorang mahasiswa, harus pupus dengan impianku menjadi seorang Ekonom seperti Ibu Menteri Keuangan Negara Republik Indonesia ini, Ibu Sri Mulyani.

Aku melebarkan sajadah di depanku dan mengenakan mukena di seluruh tubuhku. Aku melaksanakan solat subuh untuk menghadap Sang Khalik, di akhir solat aku mencurahkan isi hatiku yang gamang menghadapi situasi yang tidak aku inginkan, aku bercerita hari-hariku kepada-Nya sampai aku meminta mengembalikan penglihatanku.

Terdengar bunyi pintu di buka di ikuti dengan suara batuk yang parah, "nduk, sudah bangun dan solat subuh?" tanya Ibu.

"Sudah Bu, Ibu sakit? Kok suara batuknya kayak begitu," aku memalingkan wajahku ke arah suara Ibu.

"Ibu ndak apa-apa nduk, nanti juga sembuh."

"Ibu hari ini istirahat saja di rumah tidak usah jualan dulu," ucapku kepada Ibu merasa khawatir mendengar Ibu batuk-batuk kembali.

"ndak bisa nduk, nanti kita makan apa. Bapakmu lagi tidak ada panggilan kerja lagi, hanya ini yang bisa Ibu lakukan untuk memenuhi kebutuhan kita," terang Ibu.

"Bagaimana kalau aku menggantikan Ibu untuk berjualan?" saranku.

Ibu menjadi terdiam tidak memberikan jawaban.

"Ibu?" panggilku.

Aku mendengar embusan nafas ibu, "baiklah hari ini saja, tapi kamu di temani bapakmu ya. Ibu enggak mau kamu kenapa-kenapa di pasar, apalagi pasar di pagi hari itu ramai sekali."

"Iya Ibu, aku siap-siap dulu."

"Ibu keluar dulu," ucap Ibu dan terdengar suara pintu yang sudah tertutup rapat.

Ini bukan pertama kalinya aku membatu Ibu berjualan di pasar, dulu saat masih bisa melihat aku sering membantu Ibu di pasar dari mengangkat sayur dari penyuplai dan membantu pembeli di pasar memilih sayur-sayur segar untuk di beli oleh mereka. Sekarang, dengan kondisiku yang tidak dapat melihat menjadi pertama kalinya aku membantu Ibu di pasar.

Aku telah selesai mengganti baju, tanganku mengambil tongkat yang dibeli dari kumpulan donasi teman-temanku dan tetangga-tetangga sebelah rumah. Tidak lupa aku mengambil tas selempang kecil untuk menaruh semua uang hasil penjualan nanti.

Cinta Untuk Sang Gadis ButaWhere stories live. Discover now