4. Pertanyaan Keramat

24K 2.1K 17
                                    

Lagi dan lagi..
Pertanyaan yang pada orang yang sama..
'Kapan nikah?'

***

Pagi yang indah untuk jiwa yang tenang. Ya, aku kira ungkapan itu yang aku dapatkan pagi ini. Namun ternyata aku salah sebab pagi ini di ruang makan, keluarga kecil Shakila duduk tenang di kursi mereka masing-masing. Aku menghela napas, apa lagi ini? Kemarin saja di acara reuni sekolahku aku sudah kehilangan mood dan sekarang aku kembali harus di hadapkan dengan suasana canggung bersama adik kandungku sendiri pada saat moodku belum kembali baik.

Namun begitu melihat wajah bahagia bunda dengan senyuman yang henti keluar dari bibirnya membuatku mau tak mau ikut tersenyum, ini adalah mimpi bunda juga amanah almarhum ayah. Bunda akhirnya sadar akan kehadiranku pun tersenyum lembut. "Sini Sayang, kita sarapan bersama," ajak bunda padaku, otomatis ajakan bunda mengalihkan kegiatan Shakila yang sedang menyuapi Aqidah dan Arash sedang menikmati sarapannya pun terhenti.

Mereka melihat kearahku secara bersamaan, Shakila langsung kikuk sedangkan Arash tetap santai seperti biasa walau aku tahu dalam hatinya ia juga sedang kikuk sama seperti istrinya. Aku tersenyum tipis kepada mereka dan di balas senyum canggung, akupun memilih duduk di depan Shakila duduk.

Aku mengambil nasi goreng untuk sarapan pagi ini, karena ini hari minggu aku akan ke kantor seperti biasa. Ya, di kantor WO milikku hari minggu tetap buka. Jadinya tak ada waktu untuk weekend bersama keluarga, apalagi kalau musim-musim pernikahan seperti bulan ini. Kadang kantor WO aku akan tetap kerja tanpa hari libur sama sekali, dan itu ada juga keuntungan buatku hari ini. Tanpa harus ada alasan menghindar untuk weekend bersama keluarga.
Aku mengunyah dengan santai, begitu pun dengan bunda dan Aqidah namun tak bagi Shakila dan Arash. Dari itu aku buru-buru menyelesaikan makanku, begitu habis aku pamit kepada bunda.

"Bun, aku berangkat sekarang ya." Aku sudah berdiri dan mencium tangan bunda, ketika mendengar suara Aqidah.

"Auntie Sha, mau ke mana?" tanyanya dengan aksen cadel.

Aku tersenyum lalu menjawab, "Auntie mau kerja dong, Aqidah."

Bibir mungilnya mengerucut lucu. "Kok kerja sih, kan Aqidah datang ke sini karena mau main sama Auntie." Aku menahan senyum geli karena ulah Aqidah, bunda malah terkekeh sedang papa dan mamanya hanya tersenyum tipis.

Aku memasang wajah menyesal. "Maaf ya, Sayang. Auntie janji sabtu depan kita main bersama, oke?" janjiku pada keponakanku yang manis ini. Ketika Aqidah menganggukkan kepala kemudian melanjutkan makannya dan aku tersenyum lega, aku pun kembali pamit ke bunda dan juga pada Aqidah, Arash, dan Shakila.

"Kalau gitu aku pergi dulu ya, Bun."
Bunda tersenyum. "Hati-hati di jalan ya." aku mengacungkan jempolku lalu beralih pada keluarga kecil Shakila.

"Aku pergi dulu, ya." Mereka mengangguk kompak, aku segera berlalu meninggalkan meja makan menuju halaman depan tempat di parkirnya mobil kesayanganku.

Akhinya setelah perjalan selama dua puluh menit tanpa kena macet, aku sampai juga di kantor yang aku bangun dengan usahaku sendiri. Hari minggu memang Jakarta bebas macet karena biasanya warga ibukota akan pergi ke Puncak untuk liburan bersama keluarga masing-masing.

Aku berjalan memasuki kantor, dan menyapa beberapa pegawaiku. Di kantor ini berlantai tiga, di mana lantai satu itu tempat lobby, resepsionis dan juga pantri tempat istirahat pegawai, lantai dua adalah kumpulan baju pengantin wanita dan pria hasil dari design-ku beserta ruang untuk meeting dengan klien-klienku, dan lantai tiga adalah ruanganku beserta tempat musolla untuk sholat para pegawai.

Suami Settingan (PINDAH KE DREAME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang