Latte

3.7K 432 21
                                    

Gia's POV

Entah kenapa senyuman Rev barusan semakin membuat hatiku terasa lebih damai. It's like her smile complete my peacefulness. She filled something in me that I can't describe in words. Aku berusaha mengatur nafas dengan kembali memejamkan mata. Menikmati sentuhan angin yang menerpa wajahku dengan ditemani suara ombak yang terdengar syahdu di telingaku. It's perfect.

"Jangan kebanyakan merem nanti ketiduran di sini aja," suara Rev berbisik di telingaku.

Aku menghela nafas, "kenapa sih harus ganggu ketenangan gue?" 

Dia tersenyum, "siapa yang ganggu? Gue cuma mau ajak lo ke suatu tempat."

Aku mengerutkan dahi, "ke mana?"

Dia menunjuk ke sebuah tempat duduk yang terbuat dari bambu dengan terpal kain di atasnya yang berada sekitar 20 meter dari tempat kami berdiri.

"Mau ikut gue ke sana atau lo sendiri di sini?"

"Ikut," jawabku singkat dan membuatnya sedikit tertawa. Aneh dasar.

Kami pun duduk sambil menatap pemandangan laut yang luar biasa indahnya. Benar kata Rev, dari tempat ini aku bisa melihat bibir pantai serta luasnya lautan dari angel yang lebih bagus.

Kami terdiam menikmati segala keindahan di tempat ini. Tak ada kata yang keluar dari bibir kami. Kami hanya tak henti melihat dengan takjub ciptaan Tuhan yang benar-benar tidak bisa dideskripsikan dalam kata-kata.

"Gak mau ambil foto terus upload di sosmed?" tiba-tiba Rev bertanya.

"Nanti aja kalo udah mau cabut. Gue bukan tipikal orang yang apa-apa harus di-posting. Gue lebih suka nikmati momennya ketimbang sibuk mainin hp sampe lupa esensi dari perjalanan itu sendiri," sahutku.

"So deep," sahutnya.

Rev tiba-tiba berdiri dan sepertinya dia mengambil beberapa foto dengan kamera yang bertengger di lehernya. Aku tidak fokus padanya, terserah dia mau melakukan apapun, yang jelas aku saat ini sedang menikmati keindahan di sini.

Entah sudah berapa lama aku terbawa suasana hening dan damai, Rev mengajakku untuk pergi ke tempat berikutnya.

Rev kembali memegang tanganku ketika menuruni bebatuan. Sesampainya di tanah yang landai, aku langsung melepaskan pegangannya.

"Kita mau ke mana lagi?"

"Ya sekarang ke pantainya. Dikit lagi sunset, better di pinggir pantai kan?"

"Hemmm, okay."

Kami kembali berkendara hanya beberapa menit kemudian sudah sampai di sebuah bibir pantai. Pasir putih nan lembut terhampar luas di sepanjang bibir pantai. Aku pun tak sabar ingin berjalan di atasnya sambil bermain air.

Setelah Rev memarkirkan motornya, aku langsung berjalan cepat menuju bibir pantai. Sudah ada beberapa orang yang duduk di spot mereka masing-masing. Pantai ini terbilang masih sepi dan tidak seramai pantai-pantai yang ada di Bali.

Rev menghampiriku. "Kita cari spot yang enak juga yuk buat nunggu sunset."

Aku menoleh ke arahnya. "Lo bawa kain pantai?"

"Haha bawa lah, gue kan prepare. Tadi gue taro di dalem jok motor."

"Okay."

Rev melihat-lihat ke beberapa sudut di pantai ini. Kemudian tiba-tiba saja sebelah tangannya menggenggam tanganku tanpa meminta ijinku terlebih dahulu. Ia menarik tubuhku untuk mengikutinya ke sebuah sudut yang tidak jauh dari bibir pantai.

Entah kenapa, aku hanya terdiam tanpa berkata apa-apa padanya. Dan, jantungku kembali berdetak lebih cepat. Ah, gue kenapa sih?!

"Di sini ok kayaknya," ucap Rev sambil melepaskan genggamannya.

"Nih Gi, bantu gue dong," ucapnya lagi memberikan ujung-ujung kain pantai yang ia bawa sejak tadi.

Kami membentangkan kain tersebut kemudian duduk di atasnya.

Rev tiba-tiba membaringkan tubuhnya dan menatap ke langit biru dengan jajaran awan-awan tipis yang terbentang indah di atas sana.

"Tiduran gini lebih enak Gi," katanya, lalu aku mengikutinya.

Benar kata Rev, posisi ini lebih nyaman.

Kami sama-sama memandangi langit yang mulai berganti warna merah keemasan.

"Gue perhatiin, sikap lo beda ya Gi," Rev membuka pembicaraan.

"Maksudnya?"

"Ya, pertama kali lihat lo tuh kayaknya lo business woman yang sangat dewasa dan pendiam. Tapi nyatanya pemikiran gue salah."

"Maksudnya?" tanyaku lagi.

"Haha, lo masih punya sisi kekanak-kanakan dan bawel juga."

Aku langsung terduduk sambil menatapnya. "Maksud lo?"

Rev pun mengikutiku duduk dan membalas tatapanku. 

Ia tersenyum dengan sedikit tertawa.

"Kok ketawa?" tanyaku lagi.

"Ya, lo masih kayak anak remaja yang kalo diledekin gak mau kalah. Lo masih emmm gimana ya, ya gitu deh."

"Ih apa sih?"

"Nah tuh, haha gesture lo masih kayak abg."

Aku menggelengkan kepala. "Sok tau."

Rev tersenyum lagi. "Bawel."

"Siapa?"

"Anggia, bawel."

"Sok tau."

"Ya buktinya daritadi lo gak berenti ngomong."

"Ya lo yang ngajakin gue ngomong duluan."

"Tuh kan, haha keluar lagi sifat abgnya."

"Ih apa sih Rev?"

Rev kembali tersenyum, "sstttt..." bisiknya dengan kedua tangannya yang memegang wajahku dan mengarahkanku melihat matahari terbenam di ufuk bumi.

Ia melepaskan tangannya, dan aku takjub ketika kedua mataku menangkan pemandangan yang sangat amat indah. Langit senja menyelimuti tempat ini dengan warna lembayungnya yang menyejukkan mata. Sang matahari mulai meredup dengan anggunnya secara perlahan di balik lautan. Sungguh pemandangan yang tidak akan aku lupakan.

"That sunset is so beautiful, same as you that successfully complete my day," bisik Rev yang lagi dan lagi hanya membuatku terdiam tanpa bisa berkata apa-apa.

You Are My Caffeine [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang