Chapter 08 : Luka

3K 333 2
                                    

Nina bangun terlalu pagi saat rumah dalam keadaan sangat sepi. Ia memutuskan berangkat ke pelatnas lebih pagi dan ikut lari pagi bersama atlet lainnya. Sesekali ikut olahraga tidak masalah kan, lagi pula tidak ada yang melarang, malah sangat dipersilakan kalau memang Nina mau ikut olahraga pagi.

Saat berjalan menuju gelanggang latihan, Nina mendengar suara seseorang merintih kesakitan. Nina menoleh ke belakang --pada sumber suara-- dan menemukan Kevin membawa kantung belanja.

Sejenak, Nina berniat untuk menanyai si tengil itu. Namun, detik berikutnya Nina menepis niat dan rasa penasarannya. Ia pun meneruskan jalan menuju gelanggang tanpa peduli dengan Kevin yang terus mendesis atau merintih kesakitan.

"Hey, apa lo nggak punya rasa peduli sama sekali sebagai manusia. Gimana bisa lo jalan dengan tenang saat ada orang merintih di belakang lo?" Kevin menahan bahu Nina sehingga langkah gadis itu terhenti.

"Lo udah gede, kalau sakit tinggal pergi ke dokter, kalau luka tinggal diobatin, dan kalau udah kurang waras tinggal berangkat ke rumah sakit jiwa." Nina melepaskan tangan Kevin dari bahunya dengan cukup kasar.

"Aduh!" pekik Kevin bersamaan dengan gerakan kasar gadis itu.

Nina mencoba untuk tidak peduli. Ia malah lanjut berjalan santai seakan tidak ada orang lain di selasar. Nina mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan pesan untuk Rina yang menginformasikan kalau Nina sudah ada di pelatnas.

"Nina," panggil Kevin di tengah-tengah ringisannya.

Nina berhenti melangkah lagi. "Apa?!"

Tanpa disangka Kevin menggenggam pergelangan tangan dan menariknya ke lorong sepi. "Tolong liatin luka di punggung gue, parah atau enggak?"

Nina memicingkan mata setelah mendengar permintaan tolong Kevin. Karena Nina masih memiliki rasa peduli sebagai sesama manusia, akhirnya dia melakukan apa yang diminta cowok tengil itu untuk melihat punggung Kevin, yang artinya Nina harus membuka kaos yang dikenakan cowok itu.

Refleks Nina ikut meringis melihat luka empat goresan tak beratur yang mengeluarkan darah dan di sekitar luka itu terdapat memar biru.

"Lo habis kecopetan?" tanya Nina kembali menutup kaos kembali.

"Apa itu parah? Gue tadi kesrempet waktu nyebrang ke minimarket, terus kena kayu atau apalah itu gue nggak tau. Dan gue baru sadar waktu sampai di sini." Kevin meringis lagi waktu keringat mengaliri luka-lukanya. Rasa sakitnya disembunyikan dengan ekspresi sok kuat.

"Itu lumayan parah sih, masih berdarah dan memar. Itu harus lo bersihin."

"Bisa gue minta tolong lo buat bersihin lukanya?"

Nina langsung mendelik mendengarnya. "Bersihin aja sendiri! Kalau nggak bisa minta tolong temen-temen lo, lagian lo kan sekamar sama Rian, minta tolong Rian ajalah."

"Gue nggak mau mereka tanya-tanya perihal luka ini. Lo tau kan kalau gue mau tanding, gue nggak boleh kelihatan sakit sedikitpun."

Bola mata Nina berputar jengah. "Iya iya, nggak usah lebay juga kali jawabannya. Di kantor aja, di sana ada kotak P3K."

Sebenci-bencinya Nina pada seseorang, tetap saja rasanya tidak tega kalau harus membiarkan orang itu kesakitan. Jadi dengan terpaksa Nina akan membantunya atas dasar rasa kasihan terhadap orang yang sedang membutuhkan bantuan ini. Nina menekan setengah mati rasa bencinya terhadap Kevin agar bisa mengobati dengan baik dan benar.

Selama Nina membersihkan lukanya, Kevin tidak memekik kesakitan layaknya orang kebanyakan. Cowok itu hanya merintih kemudian menggigit kuku jemarinya.

"Jangan sampai teriak, kalau teriak bakal gue tabok, lo." Ancam Nina saat cowok di depannya hendak berteriak tapi ditahan sehingga suara yang muncul hanya rintihan.

Better (KSS) ✔Where stories live. Discover now