6.

12 0 0
                                    

Tia menggigit roti panggangnya tergesa-gesa.

Pagi ini ia bangun terlambat. Tia merasa tidak mendengar alarm dari ponselnya berdering dan tentu saja ia tidak terbangun. Ia mengganti pakaiannya dengan roti panggang terselip di antara bibirnya. Ia menyisir rambutnya sambil mengunyah dan menelan roti panggangnya buru-buru. Tia menghabiskan potongan terakhir rotinya dan meraih tas berisi perlengkapan tarinya kemudian berlari menuruni anak tangga menuju stasiun kereta bawah tanah.

Untungnya, Tia masih memiliki waktu tiga menit sebelum kelas tarinya dimulai. Hari ini rencananya untuk datang dan memulai latihan lebih awal ternyata gagal. Tia tiba di depan pintu studionya terengah-engah lalu ia melepaskan sepatunya dan masuk ke dalam studio. Di dalam sudah ramai. Tia menarik napas dalam-dalam, mengatur napasnya, dan mencari tempat untuk memulai pemanasan.

Meiko melambaikan tangannya ke arah Tia sementara satu kakinya tertumpu di pegangan di pinggir tembok. Ia sudah memulai pemanasan lebih dulu rupanya. Tia menghampiri gadis itu. Dari raut wajahnya, Tia bisa menebak Meiko lebih antusias dengan latihannya hari ini daripada kemarin.

"Selamat pagi," sapa Meiko dengan senyum lebar terhias di wajahnya.

Kedua alis Tia mengerut, "Ada apa denganmu hari ini?"

"Tidak ada apa-apa," Meiko meringis berusaha menyembunyikan perasaannya.

"Kau tidak pernah sesenang ini sebelumnya?" Tia masih heran melihat ekspresi wajah Meiko. "Jangan berbohong padaku, Meiko-chan."

Meiko memutar kedua matanya lalu tersenyum, "Sebenarnya bukan masalah penting," Gadis bertubuh kecil itu menurunkan tungkai kirinya dan mengangkat tungkai kanannya ke pegangan di tembok. "Aku hanya senang ayahku datang kemarin dan akan meluangkan waktunya cukup lama di London. Lebih tepatnya, cukup lama untuk bisa melihatku tampil di pertunjukan besar kita."

"Wah, akhirnya ayahmu akan menontonmu," Tia mengikuti Meiko untuk pemanasan dan mengulas senyumnya pada Meiko. "Pasti kau senang kalau setiap hari bisa melihat ayahmu sepulang latihan."

Meiko mengangkat alisnya berkali-kali dengan jahil, "Tentu saja."

Setelah pemanasan yang dilakukan beberapa menit, kelas pun dimulai. Pagi itu diawali dengan latihan seperti yang sebelum-sebelumnya. Namun untuk yang mendaftar sebagai pemeran utama, latihannya dibedakan. Hari ini mereka harus berlatih untuk gerakan yang diaudisikan Jumat depan.

Karena Meiko tidak mendaftar sebagai pemeran utama, maka ia harus memisahkan diri dari Tia. Meiko berada di ruang studio yang berbeda dengan Tia. Dari kejauhan, Meiko mengacungkan jempolnya sambil menyemangatinya tanpa suara, "Semoga berhasil." Tia balik mengacungkan jempol.

Penari yang mendaftar sebagai pemeran utama berdiri berjejer di depan cermin. Tia berdiri di barisan belakang. Ia melihat ke sekitarnya. Di barisan depan tampak semua seniornya sementara teman sesama junior Tia juga ikut berdiri di barisan belakang, seperti Tia.

Di depannya, berdiri sesosok gadis jangkung berambut pirang pucat. Tubuhnya tampak anggun, jari jemarinya lentik berada di samping tubuhnya. Claudia, dialah gadis yang berdiri di depan Tia. Ingin rasanya ia menukar posisi dengan yang lain supaya tidak merasa minder dengan seniornya yang sangat berbakat itu.

Tia menghela napas, mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran negatif di dalam kepalanya. Ia menutup kedua matanya dan mendengarkan pengarahan yang disampaikan oleh pelatihnya, Mrs. Brown. Tak lama, alunan musik terdengar dan Tia membuka matanya. Ia berkonsentrasi dan memusatkan perhatiannya menghitung ketukan. Tia pun mulai menari.

Begitu nada pertama terdengar, Tia mulai bergerak mengikuti alunan lagu. Mulanya gerakan Tia tampak lembut, kemudian tempo lagu agak cepat, Tia dengan yakin menaikkan kecepatan tariannya. Mereka semua menari dengan tanpa ragu dan semuanya tampak beraturan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 04, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

stardust (n.h)Where stories live. Discover now