Bite The Dust

1 0 0
                                    

Disappointed and angry at myself, and end up hating myself and try to make me disappear from this world, is the only thing I could think.

Mereka selalu bilang "kamu hanya perlu bersyukur", "hidupmu tidak seberat itu", "kamu berlebihan". Aku mencoba untuk menyelaraskan pikiran dan hatiku dengan apa yang mereka ucapkan. Aku sudah mencoba, tak hanya sekali, namun sebanyak aku ingin mati, untuk memikirkan hal-hal indah yang pernah aku alami. Aku sudah mencoba dengan berbagai cara untuk tidak memikirkan semuanya dengan "berlebihan".

Akhirnya apa? Kau bisa menebaknya.

.
.
.
.
.
.
.
Dia berjalan sendiri dalam gelap. Dibantu lampu remang di sisi jalan. Menatap sendu langit hitam dengan gemerlap kecil bertaburan.

Bermodal hoodie yang meringkus tubuh mungilnya. Menyelamatkan dirinya dari ganasnya tusukan angin malam.

Ia menyambangi taman kota.

Berhenti, mengistirahatkan diri. Tenggelam dalam lautan manusia. Kembali merasa kosong di tengah keramaian.

Sudah menjadi biasa, tak dianggap ada walau oleh semut kecil. Tak ada yang mencoba menghinggapinya walau seekor nyamuk.

Terpojok oleh kejahatan dunia, Dan tanpa sadar air mata memaksa terjun dari sudut matanya.

Sedih? Tidak. Marah? Tak lagi berguna. Bahagia? Biarkan aku membaca kembali kamusku.

Lalu mengapa menangis?

Hatinya yang terkubur dalam gelap mencoba untuk mengungkap namun intuisinya segera menyela; “aku tak tahu”

Laki-laki dengan kelompoknya, wanita dengan sahabatnya dan pasangan-pasangan yang berlomba pamer kemesraan.

Manusia-manusia ini hanya melewati sosok gadis yang duduk menunduk dalam sendiri di satu bangku. Hanya menatap tak acuh lalu kembali pada atensi awalnya.

“Betapa mengenaskannya dirimu.” celetuk satu-satunya sosok yang MUNGKIN peduli pada diri gadis ini.

“Sok tau!” Tatapan aneh yang menyerang dari setiap mata yang melewatinya. Terheran-heran dengan gadis yang saat ini nampak tengah bercengkrama dengan angin.

“Matamu tak pernah berdusta, Van.”

“Mata juga bisa memanipulasi.”

Atensinya kembali pada langit gelap yang tampak terang karena kehadiran primadona malam.

“Kau naif.”

“Memang.” keduanya terdiam.

Hening. Hanya ada suara tawa dan cengkrama dari pengunjung taman kota.

“Tak mau merampungkan pekerjaan yang tertunda dulu?”

Mendengar pertanyaan itu, Vanda meremat kuat ujung hoodienya. Menahan gejolak lawasnya. Tak mau termakan dengan omongan sosok di sebelahnya yang mencoba memanggil kembali sisi gelapnya.

Nyatanya sosok yang selama ini selalu ada didekatnya bukanlah dia yang benar-benar peduli pada hidupnya. Hanya saja, gadis ini tak pernah sadar, Akan kebohongan yang diciptakannya.

Tiga tahun yang lalu…

Vanda, Gadis ceria penuh mimpi.

Hidupnya nampak sangat beruntung. Terlahir dari keuarga sederhana. Bahagia bersama seorang kakak dan tentu kedua orang tuanya.

Keluarganya selalu mendukung apapun yang dilakukan Vanda. Dan itu mebuatnya tumbuh menjadi anak yang berprestasi.

Diterima di sekolah yang bergengsi, menciptakan angan melanjutkan pendidikannya semakin membara.

Dia belajar dengan sungguh. Mendapat gelar siswa terpandai, meraih medali di ajang olimpiade nasional, dan selalu dapat menyumbangkan lukisanya ke galeri ataupun pameran lukis.

Pencapaiannya cukup gemilang di tahun awal dan tahun kedua. Mimpi-mimpinya mulai terpenuhi.

Semua orang dapat dengan mudah menebak akhir dari kehidupannya, Mendapat beasiswa keluar negeri-kuliah di universitas ternama-menjadi pelukis profesional-membuka galeri-mendapatkan pasangan dan hidup bahagia.

Kau pikir takdir akan semudah itu kepada Vanda? Tentu tidak.

Lihat apa yang terjadi di tahun selanjutnya.

Ketika Vanda berada di akhir tahun sekolahnya, takdir mulai mengacaukannya. Mengikat Vanda hingga sesak sulit meraup oksigen.

Masalah mulai berdatangan seperti air hujan yang terus turun di bulan September.

Tak terbiasa dengan masalah, Vanda tak mampu menahan bebannya namun tetap tersenyum di depan banyak orang.

Dia mulai mencari pelampiasan.

Menyayat pergelangan tangannya sudah menjadi camilannya setiap hari.

Merendam diri di dalam bathub.

Menangis, meraung tanpa ada satupun penghuni rumah yang tahu.

Nampaknya seorang Vanda lupa akan pepatah "masih ada langit di atas langit" atau "roda terus berputar".

Dia melupakan fakta bahwa seseorang akan selalu datang menggantikan posisinya. Someone will fulfill your dream.

Dan Vanda tak bisa menerima itu.

Menyalahkan dirinya sendiri. Felt dissapointed, tak hanya pada dirinya, juga pada Tuhannya. Marah, tak hanya pada dirinya namun juga takdir.

Mereka bilang, “kau tak akan kecewa jika berharap kepadaNya

Ha! Bohong.

Selama hidupnya, Vanda adalah gadis yang taat kepada Tuhannya. Melakukan kewajiban-kewajibannya. Dan selalu menjauhi apa yang dianggap haram bagiNya.

Tapi lihat. Ketika Vanda sudah sangat yakin. Berusaha dengan sungguh. Adakah hasilnya? Ada. Tentu ada. Berdiri di pangkal parkir mobil sebuah pertokoan, berlantai 5.

Mimpinya hancur berantakan. Semua usahanya selama bertahun-tahun melebur bersama angin. Gagal masuk ke universitas impiannya sama saja dengan meraub seluruh kehidupannya.

Tak ada guna malam yang tak ada beda dengan paginya. Selalu dihabiskan belajar semua materi persiapan masuk ke universitas yang di impikan.

Tak ada guna, segala prestasi yang di raih dengan peluh yang tak terhitung jumlahnya.

Tak ada guna segala predikat yang di emban selama bersekolah.

T.A.K B.E.R.G.U.N.A!

Semuanya hancur.

Tatapan-tatapan orang sekitarnya tak pernah membantu.

Mereka mulai menganggap rendah Vanda. Melupakan 1001 predikat,prestasi bahkan usaha Vanda.

Kerabatnya mulai berbual akan suatu hal. “Masih ada jalan lain menuju Roma". Namun hal lain yang mereka lupakan adalah, semua jalan telah tertutup.

Permintaan Vanda sangat simpel, Ia hanya ingin membuktikan bahwa dia mampu. Tapi nyatanya... tidak.

Ia merentangkan kedua tangannya. Mencoba menghadang angin malam yang menyerangnya bertubi.

Memejamkan matanya, dan mencoba untuk mengubur segala kesedihannya.

Kakinya mulai melangkah sedikit demi sedikit. Mengingat seluruh angan, usaha, dan pedih yang Ia rasakan. Air matanya semakin deras tak mampu lagi Ia tahan, Dan… pyar!

Badan Vanda melayang dan jatuh pada sebuah kap mobil yang sedang menunggu penumpangnya turun.

Darahnya mengucur dengan deras. Teriakan histeris orang-orang menjadi penghantar menuju tempat yang selama ini ia inginkan.

Matanya terpejam dengan erat. Semuanya gelap.  Ia tersenyum. Akhirnya kehidupannya lenyap. Dia takkan lagi merasakan sakit.

"Akhirnya aku bebas."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 28 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

LI(f)EWhere stories live. Discover now