Mari kita tinggalkan mereka dan mengintip apa yang dilakukan Yoongi di kamar Jimin.






Tentu saja Yoongi membaringkan lelaki manis itu, melepas kaus kaki karena sepatunya masih berada di mobil kemudian menyelimutinya sampai sebatas dada. Yoongi duduk ditepian, sengaja mencuri waktu lebih sekedar menatap wajah damai kekasih hatinya. Jarinya mengusak rambut Jimin begitu pelan, takut mengganggu.

"Apa kabar, Jiminie?" tatapannya menyendu. "Harusnya itu yang kutanyakan saat pertama kali bertemu 'kan? Maaf sudah membawamu pada masa yang sulit, aku pengecut. Maafkan aku."

Jimin terlelap, maka yang dia lakukan hanya terpejam dan bernapas teratur. Andai saja Jimin tahu, mungkin dia akan menghambur dan memeluk Yoongi sekarang.

"Selamat tidur, sekali lagi aku minta maaf." sebuah kecupan Yoongi berikan dikening Jimin. Yoongi benar-benar rindu, tapi dia pun masih meragu.

Saat keluar dari kamar Jimin, disana tiga orang sudah menunggu. Namun, Yoongi tahu hanya Namjoon yang ingin bertemu.

"Kenapa kau menatapku begitu?" Yoongi mencoba berbasa-basi. Jujur saja, selama ini yang menjadi partner bicara memang hanya Namjoon. Dan itu tentang apa pun.

Katakanlah Namjoon begitu mengenal Yoongi, bahkan dari wajah saja Namjoon tahu kalau ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya ini. Dia menepuk tempat kosong disebelahnya, membiarkan Seokjin kembali ke dapur bersama Taehyung untuk menyiapkan makan malam.

"Kau tidak -belum mengatakan hal ini padaku. Kenapa?" Namjoon sedang malas berbasa-basi, terlebih setelah mendengar cerita Seokjin dan Taehyung.

Satu alis Yoongi terangkat begitu tinggi. "Kenapa harus? Kau bukan saudara atau pun ayahku."

Sebisa mungkin Namjoon tidak terpancing emosi. Terkadang mulut tajam Yoongi memang perlu ditumpulkan. "Setidaknya Jimin adalah kesayangan kekasihku, maka secara otomatis dia juga menjadi kesayanganku."

"Perhatikan frasa ucapanmu, kau pikir siapa yang kau aku sebagai kesayanganmu?"

"Posesif!" decih Namjoon. "Ingat, dia bukan lagi kekasihmu. Jangan seenaknya melarang sesuatu yang pantas dia terima."

Yoongi total bungkam.

Lagi, Namjoon menatap sinis pada Yoongi. "Jangan menjadi pengecut terlalu lama kalau kau tidak mau kehilangannya. Seharusnya kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan saat melihatnya berada di universitas."

"Aku tahu."

"Lalu? Kenapa kau diam? Kenapa kau bertingkah seolah kalian putus karena salah satu kalian berkhianat?" Namjoon berdecak kecil, nyaris merasa jengah. "Hei, Bung, memang salahnya memiliki trauma? Jika kau memang memiliki perasaan yang orang sebut cinta, seharusnya kau tidak mengambil langkah bodoh dengan pergi meninggalkannya. Seharusnya kau berada disisinya, kalau perlu buat dia sembuh dengan keberadaanmu. Tolong berkaca, kau sendiri pun memiliki trauma. Serius, aku ingin mencekikmu sekarang."

Yoongi merebahkan punggung disandaran sofa, mengambil bantal untuk dia peluk. "Ini sulit, Namjoon. Kau tidak mengerti."

"Aku tahu dan aku mengerti." Namjoon menyahut cepat. Dia bahkan sudah duduk tegak, persis seorang ayah yang kesal pada anaknya yang keras kepala pada hal yang sudah pasti buruk untuk dilakukan. "Kalian butuh waktu, oke, aku tahu. Tapi bisakah kau berpikir luas sedikit? Kalian memiliki trauma dan masing-masing dari kalian seharusnya tahu bagaimana harus menutupi cela tersebut. Jika kau menyayanginya dan takut kehilangannya, kenapa kau meninggalkannya? Jimin pun memiliki trauma, tapi setidaknya dia mau membuka diri dan mencoba menjalin hubungan denganmu. Tidakkah itu cukup?"

Daily LoveWhere stories live. Discover now