Ujung Lautan Adalah Misteri Yang Belum Terpecahkan

44 5 0
                                    

Seperti hari biasanya. Istirahat siang itu, aku bersama dengan satu-satunya temanku -Ari- tengah menikmati sekotak bekal di taman sekolah. Di bawah rimbunnya pohon ketapang, aku bersandar dan memandangi langit yang nampak sedikit berawan. Ketenangan yang terasa memberikan kesan aneh. Meskipun ramai di sekelilingku dengan kegiatan masing-masing murid, namun aku merasa hening di keramaian. Sungguh, ada rasa damai yang tengah aku nikmati.

"Ceritanya, kau dekat kembali dengan gadis itu? " Tanya Ari. Aku membalas pertanyaannya dengan mengangkat kedua alis saja.

Ya. Aku sering sekali bercerita pada, Ari. Tentang pertemuanku dengan Sisil. Penantianku saat menunggu kedatangannya yang ternyata omong kosong. Sampai, kini Sisil, telah kembali lagi ke dalam kehidupanku.

"Terus? Kau, terima begitu saja? "

"Yup, -" Simpel ku.

"Ternyata, hatimu lemah ya, "

"Yup, -" Balasku tanpa sadar.

"Tunggu-" Seketika aku menatap pemuda kurus yang tertawa - tawa tak jelas, mengejekku.  "Maksudmu, apa? "

"Haha-, Kau ternyata memang mudah di luluhkan wanita. " Ejeknya.

"Aku hanya menghargainya, bukan berarti aku gampangan! " Sanggah ku.

Ari hanya tertawa menanggapi ku. Ia menepuk-nepuk pundaku seraya menggelengkan kepala dan tersenyum.

Aku tau , apa yang ada di kepala temanku itu. Aku juga tak menyangkal dengan ucapannya. Meski munafik, tapi dalam kenyataannya, aku benar-benar luluh oleh wanita itu. Aku hanya malu untuk mengakuinya saja.

***

Angin mengembus mengenai tubuhku yang masih di bungkus seragam putih sekolah. Menikmati setiap belaian di kulitku. Sungguh suasana yang menyejukkan. Gladis, menikmati sebotol teh. Ia duduk di sampingku. Kami tengah menikmati kegiatan rutin di sore hari. Duduk sambil memandangi lautan yang tanpa ujung . Sama halnya dengan hari esok dan seterusnya yang masih menjadi misteri yang tak terlihat endingnya.

Perlahan, aku mencubit pipi dari gadis yang duduk tenang di sebelahku. Ia hanya merespon dengan tatapan lurus saja. Tak ada senyum sedikitpun di sana. Entah mengapa, hari ini, Gladis, terlihat agak berbeda. Selain banyak diam, wajahnya-pun terkadang terlihat gelisah.

"Kamu kenapa? " Aku mencoba mengendalikan suasana yang semakin lama semakin aneh ini. Namun, Gladis hanya tersenyum.

"Apa, kamu punya masalah? Ayo, ceritakanlah. " 

"Tak apa, " Jawabnya singkat. Kami terdiam sementara waktu. Lalu, akupun berdiri. Kemudian, aku berhadapan dengannya dan memegangi kedua pundaknya.

"Bilang padaku. Aku harus apa? Kamu mau aku bagaimana? " Kataku.

"Apa sih, gak usah ngapa-ngapain. "

"Kalau begitu, mari bercerita! "

"Aku bukan seorang pendongeng! " Jawabnya ketus. Aku terbelalak dan diam. Kemudian, aku kembali duduk di sebelahnya. Tak hanya itu saja keanehannya. Saat pertama ia tiba, aku menyapanya dengan senyuman ramah. Tapi, ia mengacuhkanku lalu duduk tanpa ekspresi sedikitpun.

Aku tak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi dengannya. Seketika, suasana hatinya berubah. Andai saja, ia mau sedikit bercerita seperti biasanya mungkin aku akan lebih memahami tentang perubahan sikapnya ini. Bahkan, sampai akhirnya aku mengantarkan pulang, Gladis, tidak banyak berbicara. Ini sangat kontras sekali dengan kebiasaannya yang cerewet.

"Aku telepon kamu ya, " Kataku, mencari kontak Gladis di ponselku.

"Tak usah, HP-ku mati. Dayanya habis, "

"Oh, baiklah kalau begitu. Aku pulang ya. "

Akupun kembali melajukan supraku untuk pulang.

Hari esok adalah misteri yang belum terpecahkan. Gladis, seketika menjelma menjadi ujung lautan yang tak terhingga. Masih menjadi misteri. Sikapnya hari ini, membuatku sangat penasaran. Bahkan, saking penasarannya, aku lupa letak pintu kamarku dengan pintu toilet.

Malam semakin larut. Hawa dingin seketika menusuk. Selimut tebal menggulungiku malam ini. Entah mengapa, angin berembus kencang diluar jendela. Bahkan, gorden pun sampai tertiup angin yang masuk melalui pentilasi udara.

sayup-sayup kudengar suara adzan. Suaranya merdu di kala angin berembus menerpa jendela. Sungguh suatu keadaan yang sulit di jelaskan. Bahkan, saking anehnya suasana, aku merasa sangat asing. Ketenangan ini terlalu tenang. Entah ini adalah sebuah pertanda atau memang hanya kejadian alamiah. Karena, selang beberapa saat. Angin itu serasa hilang, di gantikan dengan kebisingan jangkrik di luar sana. Dan saat adzan selesai, seketika hujan pun turun dengan perlahan dari suatu lokasi ke lokasi lainya hingga merata. Sungguh magis sekali perasaanku malam ini.

***

"Kira-kira, aku beli novel yang mana nih? " Tanya seorang gadis dengan kedua tangan memperlihatkan novel yang berbeda. Ia meminta pendapatku.

"Kalau kataku, mending novel Seperti hujan yang turun ke bumi, aja dulu. "

Sisil menimang-nimang, ia masih bingung untuk memutuskan, novel mana dulu yang ingin ia beli.

Akhir-akhir ini, Sisil selalu datang menemuiku untuk sekedar nongkrong, dan terkadang pergi ke toko buku langganan kami. Ya. Toko ini terlalu sering kami singgahi dari sejak pertama kami kenal. Dan hari ini, aku mengantar, Sisil memilih buku.

Sebelumnya, ia bercerita. Bahwa ia sedang ingin membaca sebuah novel yang tokoh utamanya jatuh cinta terhadap teman sendiri. Makanya, aku menyarankan buku karya Boy Candra pada, Sisil. Karena, aku telah beberapa kali membaca novel itu berulang kali, tapi tetap saja mampu membuatku merasa menjadi tokoh utama dalam cerita itu. Dan yang terpenting, aku tak pernah bosan  mengulanginya.

Aku berdiri di depan toko, menunggu Sisil yang tengah berbincang dengan kasir. Akhirnya, aku memutuskan untuk menunggunya di luar.

Cuaca hari ini cukup panas. Bahkan saking panasnya, telur pun sepertinya bisa matang meski hanya di letakan di atas aspal jalanan. Entahlah apa yang ada di benak Sisil. Mengajak ku keluar di cuaca yang terik seperti ini.

Samar-samar di ujung jalan. Aku melihat Gladis yang berjalan sendirian. Aku-pun berinisiatif menyapanya.

"Hai? " Aku melambai padanya. Gladis hanya tersenyum saja padaku.

Selang beberapa saat, akhirnya, Sisil keluar dari toko buku dengan beberapa totbag di tangannya.

"Bhanu, ayo. " Ia merangkul tanganku dan menariknya.

"E-eh, sebentar. " Aku menahan langkah lalu berbalik, bermaksud ingin berpamitan dengan Gladis. Tetapi, saat aku berbalik. Ujung jalan itu nampak tak ada siapa-siapa. Aku berusaha menemukan keberadaan Gladis.

"Ada apa? " Tanya Sisil yang ikut mencari sesuatu di ujung sana.

"Tidak, tidak apa-apa. " Akhirnya kami pun beranjak pergi.

Gladis memang aneh akhir-akhir ini. Bahkan, pesan dariku tak pernah dia balas. Sebenarnya, sedang ada masalah apakah dengannya?

Lautan tanpa ujung. Hari esok adalah misteri yang belum terpecahkan. Sikap seseorang berubah tanpa alasan bagaikan ujung lautan di esok hari. Tak ada yang mampu mengetahuinya.

TAK KUNJUNG DATANGHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin