Malam Yang Mampu Mengembalikan Rasa

50 4 0
                                    


"Bagaimana sekolah barumu? " Tanyaku. Ia hanya membalasku dengan anggukan kepala.

Akibat beberapa minggu tidak masuk sekolah, terpaksa, Gladis di keluarkan dari sekolah. Dan beruntungnya, masih ada sekolah yang mau menerimanya.

"Jangan sedih gitu dong. "

"Aku takut,"

"Kenapa? Sekolahnya angker? " Aku berusaha menghiburnya.

"Ish. Bukan itu! "

"Lalu apa? "

"Ya, aku takut, aku tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. "

"Seperti ampibi saja, "

"Ish. Kok, kamu nyebelin sih. " Ia memukuli lenganku. Aku tertawa melihat reaksinya.

Meskipun aku juga sedikit kesal, atas pindahnya, Gladis ke sekolahan lain, tapi mau gimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Peraturan tetaplah peraturan. Konsekuensi tetap berjalan atas apa yang di tuai.

Baru saja kita berteman, namun kini terpisahkan jarak yang sebenarnya tidak seberapa. Tapi beruntung, kita masih bisa bertemu di tempat yang sama.

Malampun tiba, aku mengantar Gladis pulang, sampai depan gerbang rumahnya. Ada ketidak relaan di wajahnya. Mungkin, ia masih ingin berlama-lama di luar bersamaku, karena saat di dalam rumah, kembali, kesepian dan rasa takut pada ibunya akan muncul menikamnya. Itulah yang selalu Gladis bilang padaku.

"Lho! Kenapa menelpon? Kan bisa ngomong langsung? "

"Tidak apa. Angkat dulu telpon ku. " Gladis mengangkat panggilan telepon ku.

"Aku pastikan, aku akan selalu bersamamu. Jadi, kamu tak perlu khawatir. Ok! " Aku hanya berusaha menenangkan gadis itu. Aku ingin dia baik-baik saja.

"Terimakasih, " Kemudian kami berpisah. Aku melajukan motor supraku. Pulang ke rumah.

"Gladis. Kenapa aku selalu resah saat kamu tak baik-baik saja? Kenapa aku selalu ingin melindungimu saat kamu rapuh? Aku merasakan apa? Sebenarnya aku ini apa bagimu? " Batinku. Aku terus-terusan memikirkan gadis itu.

Sampai, sebuah mobil putih terparkir di pinggir jalan menghentikan lamunanku. Terlihat seorang perempuan dan seorang pria bertengkar di trotoar. Berkali-kali, si pria menghentikan langkah wanita itu ketika ia hendak di tinggalkannya.

Aku memeperlambaat lajuku. Pandanganku menyapu sejoli itu. Dan si perempuan itu berlari ketika berhasil terlepas dari cengkraman lelaki yang mungkin saja pacarnya. Ia melambai padaku, aku yang terheran seketika berhenti. Perempuan itu tidak asing bagiku.

"Bhanu!" Ia memanggil namaku.

"Si-sil? " Aku terperanga. Tanpa sepatah kata, Sisil sigap melompat ke jok belakang.

"Ayo pergi, cepat!! "

"Eh, t-tapi kenapa,"

"Sudah cepat, nanti saja aku cerita. "

Aku menancap gas dengan panik. Lelaki itu terlihat berlari mengejar motorku. Namun, akhirnya ia menyerah dan bersimpuh di tepi jalan.

Di sepanjang jalan, tidak ada sepatah katapun yang terucap. Kami saling diam. Sampai akhirnya, aku berhenti di depan warkop rockers.

"Kenapa berhenti? "

"Aku bingung harus kemana, " Tidak bisa tidak, aku kesal padanya. Kenapa kau menghilang tanpa seucap kata, lalu datang seenaknya?

"Rumahmu dimana? Akan ku antar kau pulang, " Namun tidak bisa dipungkiri, rasa rinduku meluap saat ini. Ingin sekali aku memelukmu sampai tulang-tulangmu hancur, biar kamu tau, betapa sakitnya saat kamu hilang tanpa kata.

"Aku tidak mau pulang!"

"Aku mau pulang, " Ucapku berusaha untuk bersikap dingin pada Sisil.

"Oh, sekarang kamu gitu? "

Kedua alisku terangkat. Tersentak, bisa-bisanya Sisil berkata demikian. Bukannya, dia yang menghilang dan meninggalkan, kenapa aku seakan yang bersalahnya?

"Tunggu sebentar, " Aku turun dari motorku. Sisil nampak lekat memperhatikanku.

"Kau bilang aku begitu?" Aku menghela nafas. "Selama ini, kamu kemana? "

"Aku, -" Belum sempat Sisil menjawab.

"Sudahlah, aku tak perlu jawaban darimu. " Aku kembali menaiki supraku. Fikir ku, tak ada gunanya juga aku terlalu mendebatkan hal yang telah menjadi debu. Meski, perasaan ini masih tetap memaksaku untuk lebih lama di sini. Menikmati setiap kerinduan yang di obati perlahan. Meski, kehadiranmu adalah hal yang selalu aku tunggu. Tapi, entah mengapa, aku seakan tidak peduli. Mungkin rasa kecewaku yang terlalu menikam, atau hanya sebagai rasa balasan atas apa yang kamu lakukan. Atas sebuah perlakuan seenaknya padaku.

"Bhanu! "

Aku tidak merespon. Perlahan, aku mulai menghidupkan kembali supraku.

"Bhanu, tunggu. " Dengan segera, tangan yang putih nan lembut itu menahanku. Ia merangkul erat di pinggang ku. Sebentar saja, aku terdiam. Jantungku berdegup kencang.

"Maaf, aku tak bermaksud melakukan itu semua, " Ujarnya pelan namun menusuk ke dalam relung hati paling dalam.

"Sudahlah, tak usah meminta maaf padaku. Aku tak apa, "

"Tapi aku mengakuinya. Aku salah, maafkan aku." Tangannya semakin erat menahanku. Begitu pula perasaanku yang juga semakin timbul kembali. Setelah sekian waktu aku menguburnya, ternyata perasaan itu tetap subur. Aku tak tau harus bagaimana.

"Kita kaya dulu lagi ya. Aku janji, gak akan ngilang lagi deh, "

Aku terdiam. Mencoba mencerna setiap kata yang di ucapkan gadis penawar rindu itu.

"Ya-ya?" Matanya berbinar. Yang tadinya hatiku telah memasang dinding yang tebal, seketika runtuh ketika menerima perlakuan darinya. Sungguh, sihir cinta memang susah untuk di taklukan.

Aku masih tetap berdiam dengan perasaan yang bercampur aduk. Yang pada akhirnya, akupun luluh dan mengaku kalah kepada perasaan ini.

Dan semenjak kejadian malam itu. Aku kembali kepada perasaan yang dulu sempat hilang. Suasana yang kemarin tak aku temukan, kini kembali lagi hadir melengkapi hidupku. Namun, hanya ada satu hal yang tak kembali padaku. Yaitu. Cinta yang ingin ku ungkapkan padanya. Sampai detik ini, aku masih menahan itu untuk tidak terjadi. Butuh waktu lagi untukku mengumpulkan keberanian. Setelah keberanian yang tempo lalu telah hilang di lenyapkan angin pantai di malam-malam yang penuh dengan rasa bosan. Rasa bosan yang menemani fikiranku yang tertuju pada harapan. Harapan, kamu hadir menemuiku di sini. Namun, yang terjadi, aku menunggumu sampai kamu tak kunjung datang.

TAK KUNJUNG DATANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang