Mengulang Ingatan

60 9 0
                                    

Tembok tinggi di hiasi kawat berduri, mengisyaratkan bahwa melewatinya sama saja melanggar peraturan yang sangat berat sangsinya. Dan alangkah lebih baik jika tetap di lingkungan sekolah dan bersikap normal.

Namun, ada perasaan tertantang dalam dadaku. Aku menyukai sebuah tantangan. Meski tidak mudah, tapi aku berusaha melewati rintangan itu.

Aku mulai mengambil ancang-ancang lalu melompat. Alhasil, dengan susah payah aku berhasil melewatinya. Hanya sedikit rasa sakit di luka tangan saja yang aku terima. Entah mengapa, hari ini seperti sebuah benalu besar menghalangi semangatku untuk belajar. Hanya rasa malas yang ku rasakan sedari pagi.

Aku berjalan sambil terus mengelus luka di tanganku. Hari ini adalah hari sialku.

"Kenapa. Nu? " Tanya Didin si penjaga parkir.

"Lagi latihan evakuasi diri. Din. " Jawabku. Didin tak bergeming. Lalu ia menempelkan punggung tangannya di keningku.

"Mau ku antar ke dokter gak? "

"Untuk? "

"Sepertinya kamu sedang terkena gangguan psikologi. " Ucapnya dengan serius.

"Hadeuh. Aku gak gangguan psikologis. " Kataku. "Aku cuma lagi gangguan ketidak sinambungan antara hati dan raga saja. " Jelasku.

"Hah? Apa maksudnya, Nu? " Aku menarik kepalanya dan membisikan seucap kata ke telinganya.

"Lagi malas belajar." Bisikku pelan. Aku tertawa sembari menepuk pundaknya.

"Bilang dari awal dong. So puitis kau anak manusia. " Kami tertawa bersama. Memang terkadang menjaili Didin terasa menyenangkan dikala semua temanku menghilang.

Karna ini masih terlalu siang untuk pulang ke rumah. Aku menghabiskan waktu di warung pojok tempat dulu aku dan teman-teman SMP sering berkumpul. Terlihat ramai oleh anak-anak SMP dan beberapa juga ada murid dari Mts.

Aku duduk di bangku belakang. Notifikasi ponsel muncul. Ternyata itu adalah grup kelas yang berisik. Sepertinya ada suatu hal yang terjadi di sekolah. Namun, aku menghiraukan nya. Aku menyenderkan punggung di dinding warung. Tempat biasa dulu kami berkumpul. Senyum tipis terbentuk di bibirku kala mengingat masa-masa itu.

Kami bercanda dan tertawa riang di sini. Ada sedikit perasaan rindu yang menggema di dadaku. Ingin sekali rasanya memutar waktu. Namun apa daya, aku hanya bisa memutar ingatan saja. Lagu Shela On 7- melompat lebih tinggi-menemani perjalanan waktu di otakku. Lagu ini adalah lagu paforite kami. Dulu, persahabatan memang sangat mendewa bagiku. Tapi, namanya hidup harus terus berlangsung. Dan siklus kehidupan pasti terjadi. Aku dan kawanku akan mempunyai masanya sendiri. Dulu adalah masa emas bagi pertemanan kita. Kini, kita sudah beranjak dewasa. Beda cerita lagi yang akan kita lalui. Mulai memupuk sebuah asmara, dan belajar memahami orang lain tanpa mengutamakan ego. Orang yang sekarang bersama kita, juga masa depan yang harus di persiapkan. Itulah yang sekarang kita alami. Fase kehidupan saat kita beranjak dewasa sedang berlangsung.

Sore hari pelan menyapa. Aku beranjak dari tempatku lalu berjalan menuju motor supra tua warisan kakek yang terparkir depan pohon mangga. Sesosok lelaki menghampiriku. Aku merasa familiar terhadap perawakan dan wajahnya. Selang beberapa waktu. Ia telah berada di hadapanku. "Halo sobat. " Tinju pelan di dadaku itu mengingatkanku pada seseorang. Benar. Kau adalah sahabat ku dulu. Bayu.

"Bro. Apa kabar. " Kami berdua bersalaman. Aku tidak pernah berfikiran akan bertemu teman lama ku di sini. Rasanya seperti masalalu saja.

"Sehat bro. Gimana sekolahmu? "

"Lumayan Bay. " Alhasil aku berbincang panjang dengannya. Wajar saja, sudah sekian lama kami tak berjumpa. Kami bercerita tentang suasana sekolah yang sekarang. Lingkungannya. Juga orang-orang baru yang kami temui. Tak lupa, kami pun membahas masalalu juga. Sepertinya, pertemuan seorang teman lama memang tidak lengkap jika tidak membahas masalalu.

"Ingat tidak tragedi perbatasan? " Aku berusaha mengingat kejadian tersebut. "Yang waktu kita salah sasaran dan akhirnya berujung dengan main kucing-kucingan dengan guru. " Lengkapnya. Akupun berhasil ingat. Kami berdua tertawa.

"Iya akau ingat. "

Hari itu. Tepat pukul dua belas siang. Aku bersama Bayu, dan beberapa teman yang lain bermaksud membalas perbuatan anak Mts yang tak jauh dari sekolahan kami. Hanya karena salah faham, anak sekolahan kami di pukuli sewaktu pulang sekolah. Dan orang itu adalah Yogi. Sahabat kami. Yang terjadi selanjutnya, kami berencana membalaskan dendam. Hari itu. Kami telah membuat janji bertemu dengan anak yang bersangkutan dalam kasus ini.

"Bay. Kamu yakin itu orangnya? " Tanyaku. Kami tengah bersembunyi di balik pabrik gabah dan terus mengawasi pergerakan lawan.

"Aku sangat yakin. " Hari itu. Kami berhasil melakukan hal yang sama. Tinju harus di bayar tinju. Itu prinsipnya. Namun kami juga tidak tau, bahwa anak yang kami pukuli ternyata adalah seorang anak kepala sekolah. Dan hasilnya, kami menjadi buronan untuk beberapa hari kedepan.

Namun itu dulu.

"Bay. Aku pulang duluan ya. " Pamit ku. Ada rasa puas saat aku bercerita dan membahas masa itu. Mungkin memang bukan sebuah prestasi yang kami banggakan. Tapi kebersamaan itulah yang selalu membuat kami kuat dan lebih kuat.

"Oke. Sini, aku masukan kontak ku, biar suatu saat kita bisa nongkrong bareng lagi. " Bayu mencatat nomornya di ponselku.

"Oh, iya. Kamu mau kemana sekarang. Bhanu? " Tanya Bayu. Ia mengembalikan ponselku.

"Aku akan bertemu seseorang. " Jawabku seraya memberikan senyuman.

"Maksudmu. Sisil? " Aku terdiam untuk beberapa saat. Kanapa Bayu bisa mengatakan itu. Seolah, dia adalah orang yang telah mengenal Sisil lebih dari ku.

"Dia satu sekolahan denganku. " Lanjutnya.

"Oh, begitu. "

"Ada baiknya, kau tidak menjalani hubungan dengan orang yang belum selesai dengan masa lalunya. " Timpalnya lagi. Aku hanya bisa diam. Bagaimana bisa dia tau tentang Sisil.

"Kenapa kau tau aku sedang mendekati wanita itu? " Tanyaku yang penasaran.

"Maaf. Aku tak sengaja melihat notifikasi di ponselmu. " Pantas saja. Aku merasa lega setelah itu. Namun, aku masih tidak faham dengan maksud perkataan Bayu.

"Yasudah. Aku pamit ya. Sampai jumpa lagi nanti. "

Sore itu. Seperti biasa. Aku kembali bertemu dengan Sisil. Memang bisa di bilang, ini sudah menjadi jadwal untuk kami berdua bertemu setiap sore. Namun, saat itu aku merasa ada sebuah perasaan yang menggajali hati. Entah apa itu. Namun, perkataan Bayu tetap terngiang di kepalaku.

"Kamu kenapa? " Ucap Sisil. Aku hanya menggeleng dan tersenyum padanya. Untuk bercerita pun  aku enggan. Meskipun Sisil pasti akan mendengarkan ceritaku, tapi aku tak yakin ia akan terus seperti biasanya. Aku merasa bahwa dia akan sedikit berubah kalau aku bercerita tentang apa yang di katakan Bayu. Memang, aku juga merasa ragu bahwa ia telah berhasil melupakan patah hatinya. Terkadang aku merasa bahwa cerita tegarnya itu terasa dibuat-buat. Itulah pandanganku. Tapi aku juga tidak berhak menuduh sebelum semua terbukti adanya.

Dibawah senja yang indah. Aku selalu berharap, bahwa yang terbaik akan selalu datang kepada orang yang berusaha menjadi yang terbaik. Mungkin aku mulai menyukai gadis yang ku temui tanpa sengaja ini. Namun aku takut. Jika aku mengungkapkan perasaan ini, dia akan menghilang. Aku tak ingin lagi merasakan kesepian. Hanya dengan bersamanya saja aku sudah bahagia. Meski, aku takut untuk mengutarakan rasa. Namun untuk saat ini, sudah cukup bagiku berteman dengannya.




->

TAK KUNJUNG DATANGWhere stories live. Discover now