3. Berlayar Bersama

27 2 0
                                    

"Ada gerangan apa pagi-pagi begini kau mengajak saya keluar?" Ana tak henti berceloteh riang ketika pagi ini saya membantu melepas alat-alat yang menempel di tubuhnya, meninggalkan selang oksigen

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ada gerangan apa pagi-pagi begini kau mengajak saya keluar?" Ana tak henti berceloteh riang ketika pagi ini saya membantu melepas alat-alat yang menempel di tubuhnya, meninggalkan selang oksigen. "Apa saya udah dinyatakan sembuh?"

Saya tatap lekat-lekat kekasih saya. "Ana, kekasihku yang rupawan, saya ingin mengajakmu berlayar hari ini. Kita akan melihat laut dari dekat. Maukah kau pergi dengan kekasihmu yang menyedihkan ini?"

Ana memukul bahu saya perlahan dengan tangannya yang tidak tertusuk jarum infus. "Jangan bicara seperti itu, Dana. Aku akan senang sekali bisa melaut denganmu."

Saya paksakan senyum di bibir, "Nah, sekarang kau bisa berganti pakaian. Asti akan membantumu, saya akan menunggu di luar."

Tiga puluh menit saya terkantuk-kantuk di mobil, karena beberapa hari ini tak tidur demi mempersiapkan tempat peristirahatan Ana, ketukan lirih di jendela mobil cukup untuk mengejutkan saya. Ana berdiri di sana, menyeret tabung oksigen kecil beroda. Ia memakai make up, meski samar tetap mampu untuk menonjolkan kecantikannya yang membuat saya terpana pada pandangan pertama, suatu waktu di terowongan akuarium raksasa. Hanya beberapa minggu sebelum hari ini, namun terasa begitu lama seolah satu dekade telah berlalu. 

Kami berkendara ke arah selatan. Sepanjang perjalanan hanya musik yang didendangkan pelantang suara mobil menemani. Ana lebih banyak terdiam, kepalanya tersandar di jendela dan matanya terkatup. Saya tahu waktu saya tak banyak, sebab itu saya memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi.

Setiba di laut, saya menyewa sampan dari nelayan sekitar dan mendayung pelan-pelan dengan Ana memunggungi saya. Ia merentangkan kedua lengan, menikmati embusan angin yang memainkan helai rambut dan ujung-ujung pakaiannya. Jika saya sedang ingin beromansa, mungkin kami terlihat menyerupai film drama yang amat terkenal tentang percintaan di kapal pesiar mewah.

"Ketika Bapak tiada karena serangan jantung, saya dan Asti bertengkar hebat," bisiknya lamat-lamat. Ia menyandarkan kepala di dada saya dengan mata terpejam.

"Mengapa demikian adanya?"

"Saya ingin menguburkan Bapak di laut, sementara Asti ingin Bapak disemayamkan di sisi Ibu yang sudah lebih mendahului beristirahat."

Saya tak tahu hendak merespon bagaimana dengan pernyataan ini. Saya hanya terus mendayung dan menunggu Ana bercerita.

"Bapak saya menyukai laut. Menurut beliau, laut adalah tempat persinggahan yang tak terbatas. Keluarga-keluarga Bapak bekerja di laut, hanya Bapak yang tidak, karena mereka ingin Bapak jadi pegawai negeri agar mendapat kehidupan lebih baik. Namun itu tak melunturkan kecintaan Bapak pada laut. Kakek saya meninggal di laut ketika badai, hingga Bapak saya dewasa, jasadnya tak ditemukan. Saya pikir Bapak akan senang jika bisa bertemu lagi dengan Kakek," Ana membuka matanya. Ia tatap saya lekat-lekat, "Tapi jika kelak saya pergi, tolong rayu Asti untuk menguburkan saya di laut. Anggap saja ini permintaan terakhir saya."

"Apa yang kamu bicarakan, Ana? Saya tidak mengerti. Kamu pasti akan sembuh."

Ana menggeleng lemah, gerakannya amat lambat hingga nyaris tak terlihat, "Saya tahu hidup saya tidak akan lama lagi. Saya bisa ..." Ana mengembuskan napas panjang. "Merasakannya."

"Kamu harus sembuh. Kekasihmu akan memastikan kamu sembuh, jadi jangan menyerah," saya dekap Ana erat.

"Oh ya, Dana, maukah kamu menikahi Asti jika saya telah tiada?"

Saya gelengkan kepala kuat-kuat, "Saya mencintaimu, Ana. Bagaimana bisa kamu meminta saya menikahi perempuan lain?" Ana tersenyum simpul. Embusan napasnya yang mulai satu satu, kini tidak tampak sama sekali.

"Ana, jangan tidur dulu, kita belum melihat matahari terbenam. Ana? Ana!"

Ana bergeming ketika saya guncangkan lengannya. Saya raba pergelangan tangannya, denyut nadinya melemah. Saya kayuh dayung secepat yang saya mampu kembali ke tepian, lalu membawanya kembali ke mobil. Saya mengendara dengan kecepatan penuh seperti orang kesetanan, melanggar lebih dari lima rambu lalu lintas, dan memotong jalur trem agar lekas tiba di tempat tujuan. Semestinya Ana masih bisa bertahan hingga setidaknya tiga hari lagi. Ini terlalu cepat. Saya sama sekali tidak siap. 

Setiba di fasilitas, peralatan resusitasi telah dipersiapkan untuk Ana. Saya dan Asti menunggu di luar dengan cemas. Meski sebenarnya kami berdua sudah tahu apa yang akan terjadi, namun tetap saja pernyataan dokter yang menangani Ana tetap terasa sama mengejutkannya.

"Saya mohon maaf harus menyampaikan kabar ini, namun Ana telah meninggalkan kita."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Layar Terkembang Sekali LagiWhere stories live. Discover now