2. Malam Tanpa Bulan

41 3 0
                                    

Saya duduk sendiri di beranda rumah dengan berteman lampu solar LED yang sesiangan tadi telah saya isi dayanya hingga penuh, membaca buku pergerakan perempuan sambil mengetik naskah pidato untuk esok

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Saya duduk sendiri di beranda rumah dengan berteman lampu solar LED yang sesiangan tadi telah saya isi dayanya hingga penuh, membaca buku pergerakan perempuan sambil mengetik naskah pidato untuk esok. Laptop saya mulai terasa panas, namun yang saya tunggu tak kunjung tiba.

Sore tadi Ana memakai pakaian terbaiknya, gaun berenda warna ungu ombre dan menjinjing clutch merah muda, berpamitan pada saya hendak nonton film dengan Dana. Entah sejak kapan mereka saling bertemu di luar sepengetahuan saya, yang jelas ini kali pertama Ana berkencan. Saya embuskan napas berat. Tidak, bukan saya cemburu karena adik saya memiliki kekasih. Seorang wanita terhormat hendaknya tidak menjadikan laki-laki sebagai kekasih hanya karena dia tampan, pandai dan bisa menjadi lawan bicara yang sepadan. Saya embuskan napas lagi. Saya alihkan pandangan ke langit gelap.

Tidak ada bulan di langit. Asteroid seukuran Benua Amerika berkecepatan tinggi menghantam Bulan hingga hancur, dan membuat orang-orang yang sibuk berperang mengalihkan perhatian mereka pada fenomena alam yang selama ini diabaikan. Beberapa pecahannya menghantam bumi, menenggelamkan sebagian Jawa dan Papua, Selandia Baru, Afrika Selatan, merusak sebagian Amerika Latin dan menghancurkan es di Kutub Utara. Kenaikan permukaan laut membuat beberapa pulau kecil tenggelam dan banyak orang mengungsi. Badan Antariksa yang vakum selama masa perang karena dana penelitiannya dialokasikan untuk industri granat, kembali meneliti langit. Perang berakhir dengan tanpa pemenang.

Derit pagar rumah yang dibuka dan kikik tawa Ana mengejutkan saya. Mereka mengobrol lamat-lamat dalam dengungan yang tak bisa saya cerna, lalu saling mengucapkan perpisahan.

"Baru pulang?" tegur saya dingin. Raut Ana seketika berubah, dari ceria menjadi pias.

"Kak Asti belum tidur?" Ia menengok ke belakang punggung saya, mendapati setumpuk buku dan laptop yang terbuka, "Oh, masih menulis pidato. Kongresnya pekan depan, kan?" ia berbasa-basi.

"Kau tahu kan, tidak elok perempuan berdua-dua dengan lelaki hingga larut malam begini? Masa lalu sudah membuktikan, generasi-generasi muda yang kelewat batas pergaulan merusak kehidupan dan pemerintah telah ..."

"Saya tahu, Kak. Kita harus membatasi diri agar tatanan kehidupan yang kini telah dibangun kembali, tidak runtuh. Tapi tadi kami keasyikan mengobrol saat makan malam hingga lupa waktu. Maafkan saya, tidak akan saya ulangi lagi, Kak."

"Masuk kamarmu sekarang." Ana tunduk tanpa berkata-kata lagi. Saya terpekur di kursi beranda. Ana sudah dua puluh tahun. Dia bukan anak kecil lagi. Namun tanggung jawab pada mendiang Bapak dan Ibu yang saya pikul sendiri tiba-tiba saja kini terasa membebani. Seandainya saja pemuda bernama Dana tidak muncul di kehidupan kami, tentu ini tidak akan terjadi.

Semestinya saya tak merasa cemburu.

Saya menolak bicara pada Ana esoknya, juga esok lusa. Ana mencoba meminta maaf dengan memasak makanan kesukaan saya, walau tak saya sentuh. Memberi saya buku keluaran terbaru yang memang sangat ingin saya beli, tapi masih tak saya baca. Namun tetap saja Ana keluar dengan Dana setiap hari, meski tak lagi pulang larut malam.

Layar Terkembang Sekali LagiWhere stories live. Discover now