1. Kekasih yang Datang dari Laut

86 4 1
                                    

Saya ingat ketika kami berdua masih kecil, Bapak membawa kami pergi berwisata ke pantai selatan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Saya ingat ketika kami berdua masih kecil, Bapak membawa kami pergi berwisata ke pantai selatan. Bapak menggendong saya yang merengek kelelahan seraya berbisik, "Sebentar lagi kita tiba, Ana. Laut adalah tempat persinggahan yang tak terbatas."

Laut adalah persinggahan yang tak terbatas, mungkin adalah kalimat terpanjang pertama yang bisa saya ingat dalam memori kanak-kanak, karena momen itu selamanya akan jadi kenangan tak terlupakan. Sesampai di sana, Ibu menyiapkan bekal makan siang yang kami bawa dari rumah, menyuapi Asti dan saya bergantian, lalu melepas kami di hamparan pasir maha luas, bermain kejar-kejaran dengan ombak yang sesekali bergulung tinggi, juga mengumpulkan cangkang kerang yang remuk seketika ketika berpindah ke telapak tangan. Pada saat itu, satu-satunya kecemasan kami adalah tertinggal shuttle terakhir menuju Jakarta—yang ternyata tak terbukti.

Hari ini saya kembali mengunjungi laut. Meski jauh berbeda dengan tempat yang pernah saya kunjungi bersama Bapak dan Ibu, tetap saja mampu membangkitkan ingatan itu lagi. Asti merapikan ujung roknya yang selutut sebelum menyilangkan tas di bahu, bersiap turun dari shuttle. Saya sendiri mematut bayangan di cermin seukuran telapak tangan yang selalu ada dalam tas, memulas tipis liptint merah jambu, lalu beranjak mengikuti saudari saya meninggalkan halte menuju taman hiburan Sea World.

Kami mengantre tiket masuk, lalu mengambil satu peta lokasi dalam perjalanan menuju ke wahana kesukaan kami, terowongan bawah laut. Sepagi ini belum banyak pengunjung yang datang, meski akhir pekan. Asti berjalan di depan, dengan kesederhanaan dan keanggunan yang memancar dari seorang senat muda. Pakaiannya polos, gaun sewarna tanpa motif atau renda. Asti memang tak terlalu suka bersolek. Ia acap menegur saya setiap kali melihat tumpukan kosmetik di meja rias yang bertambah.

"Perempuan mana yang memakai tiga macam bedak dasar dan dua macam perona pipi selain dirimu, Mariana?" ia selalu memanggil nama lengkap saya ketika sedang menghardik.

Saya hanya bisa bermuram ketika Asti berang. Karena setelahnya ia akan mengatakan bahwa perempuan tak harus bersolek untuk bisa dilirik laki-laki.

"Perempuan itu, Mariana, harus bisa tegas dan memiliki sikap. Jangan terlihat lemah."

Tapi benarkah menjadi cantik berarti menunjukkan kelemahan? Kadang saya tak mengerti dengan para wanita kongres perempuan. Mereka getol memperjuangkan derajat perempuan, namun justru memandang rendah pada perempuan lain yang memang tak sesuai dengan visi misi organisasi.

Saya mungkin tengah melamun, teringat obrolan dengan Asti beberapa hari silam, karena saya menabrak seorang bocah laki-laki yang sedang berlari. Atau dia yang menabrak saya. Saya terhuyung, namun masih cukup seimbang untuk mencengkeram bahu bocah ini kuat-kuat agar dia tak limbung.

"Adik tak apa?" Saya berjongkok agar mata kami sejajar, karena itulah yang biasa saya lakukan jika menghadapi murid-murid di taman bermain.

Wajahnya semringah, giginya yang baru tumbuh berbaris rapi dari sela-sela bibir. "Tante."

Layar Terkembang Sekali LagiWhere stories live. Discover now