Jimin menepis tangan yang berusaha menyentuh wajahnya. Dia merasa mual bahkan hanya mendengar suara pria brengsek ini. Kalau saja dia tidak ingat dengan kakaknya, maka Jimin akan membunuh bedebah ini sejak dulu.

"Kau memang brengsek! Aku bahkan muak hanya mendengar suaramu!"

"Uh, aku suka Jimin yang galak. Kau tampak lebih panas, Sayang." dua tangannya dengan gesit memerangkap tangan Jimin di sisi-sisi kepala. Dua kakinya pun sudah sigap mengunci pergerakan kaki Jimin agar tidak bisa melarikan diri. "Ah, kali ini aku pasti berhasil memilikimu. Tidak apa 'kan kalau kita melakukannya sambil berdiri?"

Kedua mata Jimin melebar. Bayangan tentang kejadian dua tahun lalu kembali merangsek memenuhi kepala. Saat pria ini melakukan hal yang sama seperti dulu, dia mengulangnya lagi saat ini. Tubuhnya yang digerayangi, lehernya yang dijajah, bibirnya yang diburu. Jimin menggeleng keras, mencoba menolak aksi brutal pria brengsek yang sedang melecehkan tubuhnya.

"Tolong!!" siapa pun, tolong aku..

Berulang kali Jimin berusaha melepaskan diri, tapi tubuhnya lemas setiap kali ingatan itu mampir dibenaknya. Dia pun sudah berupaya untuk berteriak sekeras-kerasnya, tapi seolah semua orang tuli. Dia sudah terisak, menangis memohon agar pria brengsek ini  melepaskannya, tapi sekali lagi usahanya seolah sia-sia. Apakah ini akan menjadi akhir? Jika tidak ada satu orang pun yang datang menolongnya, Jimin memilih mati. Lebih-lebih ketika sweaternya dirobek paksa.

Tuhan, kumohon kirim malaikat untukku. Siapa pun itu, kumohon..

Dalam hati Jimin masih berusaha meminta, dia tidak mau berakhir sia-sia di gang sempit yang gelap dan kotor ini. Dia tidak mau menjadi aib untuk keluarga. Dia tidak mau membuat kakaknya khawatir dan susah.

Tapi sepertinya takdir berkata lain, saat lehernya tersengat sesuatu, Jimin pasrah. Dia-

"Bangsat!"

-Jimin ikut tersentak saat pria brengsek itu terdorong menjauh dan terjerembab jatuh. Tubuhnya berdiri kaku melihat seseorang memukuli pria brengsek yang nyaris memperkosanya dengan membabi buta, diiringi umpatan-umpatan kasar. Jujur, ada sebersit rasa ingin melihat pria brengsek itu mati agar hidupnya tenang. Dia ingin pria brengsek itu membusuk di gang ini dari pada membusuk perlahan dipenjara.

"Jiminie.." tegur pria penolong itu dengan napas terputus-putus. "Maaf, apa aku terlambat datang?"

Jimin yang tadi masih terpaku pada tubuh pria brengsek yang sudah tidak sadarkan diri disana menoleh ketika bahunya disentuh oleh tangan yang terasa dingin menyengat kulit. Kakinya serta merta mundur, tapi langkahnya terhalang dinding. Dua tangannya dengan cepat menyilang didepan dada. Dia takut, dia ingin menangis, dia ingin berteriak.

"Pakai ini, aku akan mengantarmu." si penolong itu memberikan jaket kulitnya, menutupi tubuh bagian depan Jimin.

Jimin tidak bisa lagi menahan isakannya, dia akhirnya menangis dan menghambur pada si penolong yang ditanggapi dengan sebuah pelukan hangat juga desisan menenangkan dengan suara beratnya.

"Aku disini.. jangan menangis."

"Aku takut.. Hiks! Aku-"

"Tidak apa-apa. Ada aku. Lebih baik sekarang kita pergi, polisi akan segera datang." Yoongi, si penolong itu mengerutkan kening ketika Jimin masih saja berdiri kaku ditempat. "Jiminie?"

"H-Hyung, tu-tunggu sebentar. Kakiku lemas."

Yoongi melepas pelukannya, menarik jaket yang dipakai Jimin. "Aku tidak akan macam-macam." ujarnya ketika Jimin mendongak dengan wajah sembab sambil mempertahankan jaketnya agar tetap melekat menutupi tubuh. "Kau boleh menghajarku kalau aku macam-macam."

Daily LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang