Part 14

11K 430 16
                                    


Aku bersikeras tetap pergi kerja, walau badanku sakit semua. Nanti saja, kalau gak tahan lagi, baru permisi pulang, batinku.

Sebelum berangkat ibu memasukkan nasi bontot dan sebotol lemon tea hangat dalam tas kerjaku.

"Ibu gak takut tadi?" tanyaku.
"Makhluk kayak gitu bisa baca ketakutan kita, makin kita takut dia makin menjadi. Kalau kita takut, lemah, dia mau masuk ke badan. Jadinya ya kesurupan" jelas ibu.

"Kamu jangan memaksakan diri kalau lemas pulang, tidur saja. Ntar kalau sampe kerasukan bisa-bisa pada mundur lelaki yang mau melamar" haish, itu lagi - itu lagi yang dibahas ibu.

"He he he he" ku salam tangan ibu, ku cium. Pamit.

Ibu ikut berjalan, mengantarku ke teras. "Jadi, kamu udah kenalan sama nak  Ridho?" keningku berkerut, siapa lagi itu?, bisikku.

"Loh katamu tapi tadi malam kamu sama Roma udah mampir di warung mie nya?" jelas ibu yang langsung kutangkap sebagai mas Klaten.

"Namanya Ridho?" kutanya ibu dan langsung dijawabnya dengan anggukan, sambil tersenyum-senyum.

"Ibu suka lihatnya, dia anaknya soleh. Bapak juga kenal sama dia karena selalu sholat dimasjid 5 waktu, tiap waktu sholat ditinggalnya warungnya. Masih muda sudah mandiri, senang usaha. Sopan, santun orangnya. Ibu denger dia juga anak sekolahan kok. Pinter masak lagi, mie sama buburnya enak!!" wow ibu ku promosinya lancar.

Aku hanya diam, tersenyum. Pakai sepatu, hendak beranjak ke motorku. Sepertinya memang penilaian ibu gak muluk-muluk.

"Huuuffh Haaaah ..." Aku hanya bisa menghela nafas. No comment dah. Aku masih yakin jodohku ada. Dan pada pertemuan pertama kami, pasti akan muncul firasat itu.

Kalau sama mas Klaten alias Ridho sepertinya bukan. Kesan pertama seram.

"Kenapa loyo gitu. Li...Uliii... yeee malah ngeloyor"

Ku starter motorku, pelan keluar pagar.

"Assalamu alaikuuummmm .... Bbbrrmmmm ..." dijawab ibu salamku sambil menggeleng-geleng.

Seusiaku memang udah pantesnya nikah. Kawan-kawanku tinggal segelintir yang masih melajang. Yang tidak melanjutkan kuliah, biasanya langsung berkeluarga. Anak-anak mereka sudah 2 bahkan ada yang mau 3.

Huuuuft, pelan kulaju motorku, didepan sana kulihat mas Klaten, eh Ridho. Sedang menyapu jalanan depan warungnya.

Memang lumayan menarik sih, batinku. Perawakannya tinggi, wajahnya juga manis. Rambutnya ikal. Bahunya lumayan lebar.

Semakin dekat kuperhatikan tangannya berotot. Sepertinya biasa kerja keras. Siluetnya agak mirip Jalu, adikku. Cuma Jalu masih kurus.

Dia melangkah masuk warung. Tepat, pada saat aku melewati warungnya.

Tapi,
Dari spion kiri, kulihat dia berlari. Keluar lagi, tatapannya seakan kearahku.

Deg.
Apa dia menyadari aku lewat? Apa dia serius berdiri melihatku dan bukan melihat yang lain? Tapi, jalanan masih sepi. Bingung kupelankan laju motorku. Ya memang dia melihatku.

Serrr. Masak sih?? Deg, Ge-Er,..

Tapi,
Kenapa tatapannya seakan terkejut, atau was - was, khawatir,
Atau Ngeri??
--------------------------

Siang hari, di kantor. Kupandangi secarik kertas dari ki Gemblong pesong yang dititipkan Jalu. Aku harus mengcopy kertas ini beberapa lembar. Agar masing-masing kami memegangnya pada saat akan menggali.

Mengerikan. Begitu banyak benda santet yang mereka tanam di rumah buk Siti. Khusus untuk menyantet buk Siti dan pak Bambang.

"Awalnya karena sakit hati, atas perlakuan dan perkataan buk Siti pada Iyok. Setiap kali meminta bantuan, selalu dihina. Dia itukan adiknya sendiri...tapi si Siti bermulut tajam. Suaminya juga tak pernah peduli, bila Siti menghina diam saja. Buat apa membantu kalau pada akhirnya menghina." Perkataan ki Gemblong yang diceritakan Jalu padaku membuatku bergidik.

#1 : Misteri Maghrib Where stories live. Discover now