"Kayak gak ada iman aja!" celetuk ibu bikin langkahku terhenti saat balik menuju kamar.

"Yang namanya takut ya takut, mau iman segunung pun selautpun namanya takut ya tetep takut mana mungkin namanya jadi iman,.. Memangnya Iman anaknya mang Gimon ganti nama jadi Alexander..."

Cerocosku bikin ibu menggigit jari telunjuknya, keliatan bingung mencerna maksud kata kataku.

"Anak sekarang memang pinter pinter..." jawabnya sambil menyimpan sekaleng guli dibawah meja masak.

"Yah nanti Jalu pulang ibuk suruh balikkan...dikasih duit 50 ribu ganti guli juga pasti dia kesenengan..." sindir ibu.

Aku hanya tersenyum sambil masuk kamar, lelah, mau tidur aja.
-----------------------------

Jam 1 dinihari.
Aku terbangun. Suara pintu samping rumah ceklak ceklek seperti ada yang mau masuk.
Kamarku disisi belakang diarea ruang keluarga, ada pintu masuk dari samping rumah, berhadapan dengan ruang keluarga, kamarku sebelah dapur. Agak kesamping depan dapur, ada anak tangga menuju lantai dua kamar Jalu.

"Ceklek..ceklekk.." suara gagang pintu sepertinya macet mau dibuka. Itu pasti Jalu. Batinku.

Kutarik selimutku hendak kembali tidur, tapi mataku kembali terbuka lebar.. Barusan kulihat jam kan jam 1 malam, mana mungkin Jalu di luar jam segini. Apa mungkin Bapak?.

Duduk, kupasang telingaku, kembali mendengarkan.

"Cekleek..cekleeekk..cekleekk" susah amat buka pintu?, mau masuk atau cuma main main?. Kalau Jalu atau Bapak pastikan sudah teriak-teriak. Hati kecilku mulai curiga, jangan-jangan buk Siti.

Kuhempaskan tubuhku ke kasur, kututupi sekujur badan dengan selimut. Sudah lama juga buk Siti gak main-main kerumahku. Mau apa ya? Tolong jangan ke kamarku, tolong jangan masuk ke kamarku.

Kucoba membaca surah-surah pendek, ada Alquran diatas meja, kuraih juga kupeluk erat-erat.

"Ceklek,..cekleek,..krieeeeettt..." pintunya berhasil dibuka. Ya Allah..bangunkan ibu bapakku, bangunkan Jalu,..kenapa ga ada yang denger sih...

Sesaat senyap,
Hatiku mulai ragu,..jangan-jangan maling, jangan-jangan bukan arwah buk Siti, ah jangan jangan memang bapak baru dari luar...

"Sreett...sreeeett" suara langkah kaki, itu bukan langkah kaki bapakku. Jangan-jangan memang maling!!

Aku bangkit mendekati pintu kamar, perlahan, kucoba tak mengeluarkan suara sekecil mungkin. Antara maling dan Arwah buk Siti. Dua-duanya mengerikan. Tapi kalau ini maling lebih bahaya.

Bisa dibantai sekeluarga.

Tak berani kubuka pintu kamar, aku akan mencoba mengintip siapa yang diluar kamarku, dari lubang kunci.

"Sreeett..srreeeett..." dia mulai berjalan-jalan lagi. Dadaku bergemuruh, sering sering kayak gini bisa sakit jantung aku.

Posisi jongkok, pelan kutaruh mata kananku tepat di posisi lubang kunci. Mata kiriku kututup biar lebih fokus. Ruang tengah terlihat, kucoba melihat di sekitarnya, tapi tak bisa jangkauannya terlalu kecil.

"Sreett...sreeeett..." suara langkah kaki lagi, sepertinya dari pintu samping mendekati kamarku. Sebenarnya apa yang dia lakukan di luar? Mengapa langkah kakinya selangkah berhenti selangkah berhenti?

Jangan-jangan ini memang maling, dia sedang memasukkan mangkuk-mangkuk, gelas-gelas kristal pajangan ibu. Di sisi kanan sebelah pintu masuk samping kan ada lemari hias. Pikiranku mulai yakin ini maling, bukan buk Siti.

Kuperiksa pintu kamarku, sudah terkunci. Berarti aku aman. Apa aku teriak aja ya. Tapi bagaimana kalau dia bawa kampak?

"Huuufft haaaahh huufftt haaaahh" pelan ku tarik nafas dalam dalam, aku harus tenang.

Kembali kuarahkan mata kananku ke lubang kunci,. Kok hitam, gelap. Tak terlihat apapun. Kututup satu mataku, biar lebih fokus, masih hitam, gelap.

DUBH! DUBH!DUBH! Jantungku melompat lompat.

Menungging, kedua tanganku pelan kutaruk di lantai, kepalaku kutidurkan di lantai juga miring, berusaha melihat dari bawah pintu.

Astaghfirullohaladziimmm,...

Sepasang kaki perempuan, tak beralas kaki, hitam, gosong, dan... 1 cm menggantung diatas lantai. Tidak menginjak bumi.

Sedang berdiri tepat di depan pintu kamarku.

Gemetaran aku merangkak menjauhi pintu, kuraih selimutku, ya Allah itu buk Siti, Hamba gak sanggup menyapanya. Segala doa, segala surah pendek tak bisa kubaca, lidahku kelu bibir gemetar, hanya bisa menyebut Allah sebanyak-banyaknya, pejamkan mata kupeluk Alquran.

Kalau yang punya iman tebal, mungkin akan membuka pintu dan bertanya langsung apa maunya ibuk itu. Tapi aku gak sanggup. Maaf buk Siti ibuk lebih seram dari hantu kepala muter. Apalagi dengan wujud gosong.

"Sreet..sreet...sreeett...sreeett..." dia jalan lagi..melangkah ke arah dapur. Padahal kakinya tak menyentuh lantai tapi kenapa menimbulkan suara??

Kupasang telingaku, dia berhenti di dapur.

"Liiiii...Uliiii..." suara buk Siti pelan, samar lagi kudengar. Mati aku, ngapain dia manggil manggil namaku, apa dia gak sadar aku di kamar ini? Bukannya dia tadi udah berdiri depan kamarku...Jantungku makin gak karu karuan. Niat banget buk Siti bikin aku mati.

Nakut-nakuti.

Kutarik nafasku perlahan lahan kubuang," huuuftt haaaaa huuuuufftt haaaa,...huuuuffftt.." berharap sedikit tenang,.

Gak ada suara, senyap. Ngapain ya buk Siti di luar? Apa sudah pergi?. Tanyaku penasaran dalam hati. Perlahan kuturunkan kakiku dari kasur coba kearah pintu, kutempelkan telingaku di pintu, mana tau dengar sesuatu yang lebih jelas...

Senyap.

Mungkin memang ibuk itu udah pulang. Pulanglah buk...pulanglah ke alammu..pulanglah sana ya... gak usah balik balik lagi... Batinku.

Perasaan tegang dipundakku perlahan mengendur... "haaahh...haaaah...haaaahh amaaan.." bisikku. Menungging, mencoba memastikan lagi dari lobang kunci.

"Kklonntaaangggg...!!!Gobryaaanggg...!!Klontang...!kliinting...!Tiiinggh..thinnggg...thiingggg..serr..serrrr..serrr..klinthingg..!!!"

Aku terlompat, terlonjak, melorot depan pintu. Jatuh kelantai kamar, langit-langit kamarku merah, perlahan menghitam.

Pingsan.

Samar, masih kudengar beberapa butir guli terpental sampai depan kamarku....buk Siti rupanya mencari gulinya. Bisikku tak sadarkan diri.

"Liiiii...Uliiiii...uuuliiiii...liiiii...huuliiiiiii...huliii...ghhhuuliiii..liiiii...gghuliiiii...liii...guliii..guliiii..." Suara buk Siti masih kudengar, badanku kaku, mataku masih terbuka tapi pandangan sekeliling kamarku hitam tak terlihat apapun.

Begini rupanya, rasanya semaput pingsan.

Menggerakkan jari-jemaripun aku tak sanggup, tubuhku tak berdaya, lemas tak terasa. Hanya telingaku yang masih mendengar.

Butiran air keluar dari mataku, basah. Dengan susah payah kutarik kedua ujung bibirku. Tersenyum lega.

Ternyata bukan Uli namaku yang dipanggil-panggil Buk Siti selama ini.
Tapi guli yang disimpannya dalam kaleng roti yang kini sudah gosong.

G U L I .

#1 : Misteri Maghrib Where stories live. Discover now