"Iya."

"Ibuk sendirian di rumah?"

"Iya."

"Bapak belum pulang kerja?"

"Bapak udah meninggal ...."

"Ohhh."

Habis kata-kata.

"Sabar ya Buk," hanya itu yang bisa kukatakan sambil menghapus-hapus pundaknya. Gak tau harus bilang apa.

Tetangga yang memberiku isyarat tadi sudah pergi. Kami lebih banyak diam, tepatnya kehabisan pertanyaan.

Aku tanya, Buk Siti menjawab sekenanya. Buk Siti lebih banyak diam sembari menunduk atau menerawang lurus ke depan.

Membuatku makin gak nyaman.

Hari makin gelap. Suara mengaji sebelum azan maghrib sudah terdengar. Suasananya kikuk aneh. Aku bangkit bersiap-siap pulang.

"Buk, Uli pamit pulang ya ...."

Duduk saja diam.

"Ibuk kenapa rumahnya gelap-gelapan?"
Mendadak hatiku iba, kasihan Buk Siti sepertinya sekarang hidup sendiri.

"Biar Uli nyalakan lampu-lampu ya Buk." Bangkit, kucari-cari tombol saklar.

Ah, Buk Siti kan belum terlalu tua. Menurutku, umurnya paling 40-an atau menjelang 50-an. Sepertinya ia linglung, melamun atau stress.

Pastilah karena kesepian, pikirku. Lagian ingatannya masih bagus, gumamku dalam hati.

Aku terkejut saat membalikkan badan setelah menekan saklar lampu ruang tamu. Ternyata Buk Siti sudah berdiri di belakangku dekat sekali.

Gerakannya tak kurasakan. Sesaat, tatapannya lurus tak berkedip melihat mataku, lalu ia mengalihkan pandangan. Ih kenapalah ibuk ini,? pikirku.

"Uli pamit ya Buk. Titip salam buat Roma, kapan-kapan Uli main lagi ya Buk ...."

Kuraih tangannya, kucium. Serrr ... kudukku kenapa merinding, batinku.
Buk Siti diam saja, tidak tersenyum walaupun sedikit.

"Assalamu 'alaikum."

"Wa'alaikum salam." jawabnya lirih.
Belum sampai aku di atas motor, Buk Siti sudah menutup pintu rumahnya. Lalu

"Klik" rumahnya kembali gelap. Ditekannya lagi saklar lampu yang kunyalakan tadi.

Mungkin Buk Siti sedang penghematan pikirku.

Suara azan terdengar. Baru akan kulaju motorku, dua orang ibuk-ibuk tetangga yang sejak tadi mondar mandir menghampiriku.

"Dek, jangan dekat-dekat ibuk itu sendirian."

"Memangnya kenapa Buk?"

"Ibuk itu sudah nggak waras! Sejak Roma kawin lari udah stress!"

"Apa?? Siapa kawin lari?" tanyaku tak percaya.

"Sekarang ini makin parah stressnya sejak suaminya meninggal. Kalo maghrib gini sering kesurupan!"

"Siapa kesurupan??"
Ekor mata kedua ibuk itu melirik rumah Roma.

"Trus ..., Buk Siti ditinggal sendirian? Siapa yang jaga??"

"Ada. Adik laki-laki sama keponakannya. Ini mereka lagi keluar ntah kemana. Kami dititipin buat jaga-jaga aja di luar. Kami aja gak berani masuk, Situ main nyelonong aja!"

"Kan dia gak tau" jawab ibuk satunya yang sedari tadi hanya diam mendengarkan.

"Memangnya bahaya Buk?"

"Wuiihhh jangan ditanya orang stress!!"

Tiba-tiba percakapan kami berhenti. Ibuk yang hanya bicara sesekali tadi, tangannya menunjuk-nunjuk gemetar ke arah jendela rumah Roma. Aku terkejut.

Kedua orang itu berteriak kaget, mereka lantas lari pergi. Bisa dibilang lari tunggang langgang, terbirit-birit sembari menjerit

"Huaaahh Setaaannn."

Kakiku gemetar lemas, badanku terpaku, tak kuasa bergerak. Sesosok wanita dengan rambut ke depan semua, berdiri di balik kaca jendela kamar yang gelap. Siapapun yang melihat pastilah mengira itu kuntilanak.

Dari sela-sela rambutnya bisa kulihat ujung bibirnya tersenyum. Aku beristighfar.
Itu tak lain tak bukan adalah Buk Siti.

"Hi hi hi, hi hi hii, hiiii hi hiiiiii hi, hiiiiiiiiiii."

Dia tertawa patah-patah semakin lama semakin melengking. Kepalanya mendongak ke atas. Jelas kulihat wajahnya, sorot matanya.

Tapi, hatiku yakin itu bukan lagi Buk Siti yang dulu, bukan juga yang tadi kutemui ....

Bersambung.

#1 : Misteri Maghrib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang