"Dasar cabul,"

"Hey, seorang dokter harus memiliki mata yang jeli!" Niall membuka kedua telapak tangannya, membela diri.

"Yeah yeah," Zayn memutar bola matanya.

"but that's not what I meant," Niall melanjutkan.

Zayn menoleh menatap Niall, "maksudmu?"

"The 'whats up' thing. Maksudku tentang Bianca," Nada bicara Niall kali ini jauh lebih serius,

Rokok Zayn menyala hingga batas terakhir sebelum Zayn mematikannya diatas tempat sampah didekat mereka, "Aku baik-baik saja," Ia menyalakan rokok kedua.

"She's gone, Zayn," Ujar Niall tegas, "Live your life, kau punya semua dalam genggamanmu. Kau punya pekerjaan impianmu, keluargamu bahagia, dan kau kaya— yah tidak kaya-kaya banget 'sih, tapi ayolah, masih banyak kesempatan menantimu,"

Senyuman kecil terukir dari bibir Zayn, "Terima kasih, Niall."

"Kau beruntung aku masih mau berteman dengan orang sepertimu," Niall kembali menghisap rokoknya, "Tidakkahh kau menyia-nyiakan banyak hal? Jika aku dirimu, aku akan bermalam setiap hari,"

"Kau kangen dengan gonore ya?"

Tipikal persahabatan Niall dan Zayn bisa dibilang setengah-setengah. Zayn pernah tidak sengaja membuat Niall mengungkapkan kalau dia pernah terkena gonore karena bermain kurang bersih dari pekerja malam yang ia temui di kelab. Maksud dari kurang bersih disini adalah, saat itu Niall sedang mabuk berat dan dia baru saja diputuskan oleh kekasihnya sehingga ia tidak berpikir jernih bahwa tidak selamanya seks itu hanya tentang kesenangan, namun juga tentang esok hari. Niall mendapati bercak merah dan sedikit nanah dari tubuhnya dua hari setelah kejadian itu. Namun, Niall seorang dokter, tidak sulit mendapatkan resep obat untuk penyakit menular seksual yang tergolong umum itu. Tetap saja, Zayn masih bergidik jijik mengingat membayangkan kejadian itu.

"Jangan ingatkan lagi," Niall tersenyum kecut mengingat pengalaman itu.

"Efek patah hati itu luar biasa ya?" Zayn kembali melanjutkan, "sebegitu kacaunya pikiranmu ketika Alyssa memutuskan berpisah darimu,"

"Yeah, aku gonore, dan kau terlihat seperti orang tolol bertahun-tahun," Balas Niall, ia menghisap rokoknya dan menghembuskannya dengan pelan, "but I survive."

Kalimat terakhir Niall menohok memasuki dalam hati Zayn dan membuatnya menghisap panjang rokok miliknya.

"Aku ada urusan lain, sampai ketemu nan—"

"Berhentilah berlari Zayn," Niall menatap sahabatnya yang berjalan menjauh, "kau pantas untuk bahagia"

Zayn memberikan menunjukan jari jempol tanpa menoleh ke belakang. Setelah beberapa langkah menjauh menuju parkiran mobil, sekilas bulir-bulir kapas putih jatuh dihadapannya dan membuat dirinya menghentikan langkah.

Salju pertama.

Ia melanjutkan berjalan tanpa berhenti mengamati peristiwa alam yang biasa dikagumi sebagian besar orang.

Zayn masih ingat betapa bencinya Bianca dengan salju.

Bahagia? Zayn tertawa akan kata-kata terakhir Niall padanya dan juga ironi dari itu.

Bagaimana bisa ia bahagia tanpa Bianca? Bahkan api pun tidak menyala tanpa sumbunya.

Bianca adalah sumbu dari segala kebahagiaannya.

***

Catherine.

Ia berkedip dan mengucak kedua matanya selama beberapa detik. Kenapa Harry bisa tidur disampingnya?

"Berhentilah berpikiran buruk" Kata Harry tanpa membuka kedua matanya. "Aku tidak biasa tidur ditempat selain kasurku. Kau begitu lemah semalam, jadi aku tak mungkin menaruhmu di sofa, 'kan?" Ia membuka kedua matanya kali ini, "Tidak 'kah kau ingat?"

Kali ini Cath ingat.

"Astaga," Cath menggegam pangkal rambut kepalanya dengan kedua tangan, "Ini buruk, aku tidak akan bisa bekerja lagi disana."

"Kau bekerja ditempat seperti itu?" Harry tidak habis pikir, "Kenapa?"

Cath menoleh kearahnya, "Kenapa? Kenapa.... kenapa.... tunggu, kenapa kau berada disana?"

"Aku mengikutimu,"

"Mengikutiku?" Cath mengkerutkan kedua alisnya, "Kau seram, Harry."

"Seram? Baiklah, lain kali aku melihatmu di jalan, aku tidak akan menyapamu," Harry bangun dari tempat tidur Cath dan mengambil mantel yang ia gantung di samping pintu ruang tengah.

Cath mengikutinya dari belakang, "Hei, maaf jika aku ketus, terima kasih sudah menolongku."

"Tidak masalah," Harry memakai sepatunya sambil berdiri di depan pintu keluar, "Aku tidak ingin memaksamu, tapi tempat itu bukan tempat yang baik untuk berlama-lama, Catherine."

"Aku tahu," Cath menghindari pandangan Harry, "tapi aku tidak bisa menghindarinya."

"Oke," Harry berkacak pinggang dan menepuk pundak Cath, "Selamat tinggal, Cath"

Sesaat setelah Harry pergi, Cath melangkah dan berhenti menatap jendela utama rumahnya. Pinggir jendela itu memerlihatkan pemandangan luar rumah yang biasa ia nikmati bersama keluarganya, dulu.

Ia menatapi pinggir jendela yang ditempati beberapa foto keluarga dan foto-foto masa kecilnya dulu. Tatapannya berhenti pada sebuah pigura berisi foto dirinya dan kakaknya. Mata-mata biru polos yang menatap kamera saat pertama kali masuk sekolah. Saat itu Seth memasuki Sekolah Menengah Pertama dan Catherine menjadi murid pindahan Sekolah Dasar yang tak jauh dari Sekolah Seth.

Ia tersenyum, saat itu Seth begitu menjaganya.

Dan sekarang, ia malah menaruhnya ke dalam lubang petaka tanpa ujung.

Catherine jelas tidak bisa kembali ke Kelab setelah kejadian itu, namun hal itu tidak akan membuat Jenna berhenti mendapatkan uangnya kembali.

Ia menghela nafas panjang kemudian menyadari sesuatu.

Pingura foto Seth saat masuk Universitas menghilang, namun hal itu tidak berlangsung lama karena Cath kembali menemukan pigura itu di sisi lain jendela utama.

Aneh. Seingat Catherine, ia tidak pernah merapihkan atau mengubah sudut itu. Namun ia malas mengingat hal-hal kecil semacam itu.

Ia memilih memikirkan cara melunasi hutang-hutang Seth yang dibebankan kepadanya dari pekerjaan satu-satunya yang ia miliki saat ini.


Cath mengambil mantelnya dan bergegas menuju Universitas untuk bertemu dengan Zayn.    

Chegaste ao fim dos capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Feb 04, 2019 ⏰

Adiciona esta história à tua Biblioteca para receberes notificações de novos capítulos!

Attached,  // z.mOnde as histórias ganham vida. Descobre agora