30

155 5 0
                                    

"Hei, Kaine!"

Kaine yang sedang terburu-buru langsung menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke asal suara. "Pak Nathan. Ada masalah?" balasnya sambil tersenyum sopan.

"Pak Nathan?" cemoohnya. "Kan kau lebih tua, old man."

Sudut bibir Kaine berkedut menahan tawa. "Aku sedang bekerja."

"Alah... nggak ada hubungannya. Kemarin-kemarin waktu istrimu mengundangku ke rumahmu untuk makan malam, kau jauh lebih menyenangkan," kata Nathan. "Jadi, gimana istrimu? Apa dia setuju bekerja sama denganku? Serius, nih. Aku suka sekali dengan rumah-rumah yang ruangannya didesain sama dia." Sejak ia dekat dengan Lisa, ia juga jadi berteman dengan Kaine.

Kaine mengangkat bahu. "Dia nggak pernah mendiskusikan keputusan soal pekerjaan denganku. Tapi kelihatannya dia cukup tertarik dengan peluang yang kautawarkan untuk bekerja di perusahaanmu. Selama ini Gisela hanya mendesain secara lepas. Paling juga rumah teman-temannya saja."

"Oh. Baguslah kalau dia cukup tertarik. Seharusnya dengan bakatnya itu, Gisela bisa cukup terkenal dan sukses sebagai desainer interior. Kalau ia bergabung dengan perusahaanku, aku akan dengan senang hati membantu memajukan kariernya."

"Thanks ya. Nanti aku kasih kabar lagi soal Gisela," ujar Kaine. "Sekarang aku permisi dulu. Masih banyak kerjaan."

"Eh, sebentar."

Kaine tidak jadi pergi. "Kenapa?"

"Apa Lisa ada di kantornya?"

Mata Kaine melebar. Ia berdecak jail. "Sudah kuduga. Kau tidak mungkin mencariku hanya untuk bicara basa-basi soal Gisela."

Nathan nyengir.

"Sayangnya dia nggak masuk kantor hari ini."

"Lho?"

"Nggak tahu juga kenapa. Biasanya dia nggak pernah absen sehari pun. Tapi tadi pagi dia mengirim pesan padaku kalau ia akan keluar kota."

Nathan jelas tahu lebih jauh dari itu. Lisa menghindarinya. Sepertinya ia mulai bisa memahami wanita itu. Kalau tidak tahu harus melakukan apa, Lisa lebih memilih kabur dan bersembunyi. Dan tampaknya Lisa tidak mau menghadapinya untuk membicarakan kejadian ciuman mereka kemarin malam.

Sulit sekali si Lisa ini. Masa mereka harus main kucing umpet seperti anak kecil?

"Kau tahu ke mana dia pergi?" tanyanya pada Kaine.

"Dia bilang mau ke Cirebon. Ada urusan pribadi."

"Berapa lama?"

"Nggak jelas."

"Kalau begitu, aku mau minta alamat tempat dia menginap di sana."

"Kau mau menyusulnya ke sana?" tanya Kaine benar-benar terkejut.

"Sepertinya begitu," ucap Nathan sambil tersenyum muram.

"Nggak perlu sampai ke sana. Aku bisa menghubunginya sekarang supaya dia mau menelponmu."

"Percayalah, dia tidak bakal menelponku balik. Lagipula ha-penya tidak aktif. Aku sudah mencobanya beberapa kali tadi."

Kaine mengernyit. "Oh, kau sudah punya nomor telponnya."

Nathan mengangguk. "Aku meminta langsung padanya."

Kaine menggaruk kepalanya sebentar. "Kalau kau serius dengannya, kau harus bersabar. Kurasa Lisa memang agak susah dikejar."

"Aku tahu itu."

"Tapi..." Kaine mengerutkan dahinya bingung saat teringat sesuatu.

"Tapi apa?"

It Has Always Been You (Years, #3)Where stories live. Discover now