14

177 9 0
                                    

"Hei, jalan-jalan yuk!"

Nathan menoleh terkejut melihat Vicky yang masuk ke kamarnya tiba-tiba. "Sejak kapan kau di sini?"

Vicky menampilkan senyumnya yang paling cerah. "Baru saja. Daripada aku bosan di rumah bantuin Mama, mending aku pergi sama kamu. Ayo!"

Nathan melirik jam tangannya. Baru jam sembilan pagi. "Memangnya mau jalan-jalan ke mana?" tanyanya malas. Dia capai karena semalam tidurnya tidak nyenyak.

"Yah, terserah."

"Lagi malas, nih."

"Halah... Ayo, jangan malas-malasan. Kita jalan-jalan sekitar kompleks perumahanmu saja."

Nathan ingin menolak usul itu, tapi tidak jadi. Daripada ia melamun memikirkan Elsa, lebih baik ia jalan-jalan saja. "Ya, sudah. Yuk!" Ia menggandeng Vicky dan turun ke lantai bawah rumahnya.

Nathan menghentikan langkahnya tiba-tiba begitu melihat sosok Elsa yang sedang mengepel di ruang tamu. Gadis itu tampak normal-normal saja seperti biasa, seperti tidak ada kejadian apa-apa semalam. "Sebentar, Vic."

Melepaskan genggaman tangan Vicky, ia pun menghampiri Elsa dan mengucapkan nama gadis itu pelan.

Elsa hanya melirik Nathan sekilas. "Ya?"

"Kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja."

Nathan tahu Elsa sedang berbohong. "Elsa, aku minta maaf soal kemarin."

Elsa menghentikan pekerjaannya dan menatap Nathan tenang. "Lupakan saja. Anggap saja itu tidak terjadi."

"Tapi, aku tidak bisa melupakannya."

"Nathan." Suara Elsa tegas dan final. "Pacarmu menunggu."

Nathan merasakan kakinya yang enggan melangkah menjauh. Ia mengernyit. Tatapannya sama sekali tidak pernah lepas dari gadis di hadapannya. Ia hanya bisa mengangguk singkat. Ia sudah akan berbalik saat ia melihat sekilas emosi di wajah Elsa.

Mata Elsa memancarkan sakit hati dan kepedihan. Nathan tidak yakin penglihatannya benar karena selama ini ia tidak terlalu bisa membaca ekspresi wajah orang lain. "Elsa, kau kenapa?"

Elsa menelan air matanya yang hampir tumpah lagi. Ini sangat menyakitkan baginya. Setelah Nathan tahu semua tentang dirinya, ia malu dan tidak punya muka lagi di hadapan cowok itu. Dan sekarang ia tidak tahan melihat Vicky. Ia cemburu dan putus asa karena ia tidak akan pernah berada di posisi itu. Selamanya ia adalah orang lain. "Pergilah, Nate. Pergilah. Vicky sudah menunggumu."

Nathan mendesah lelah. Ia lelah menyembunyikan perasaannya terhadap Elsa. "Ya, sudah. Aku pergi dulu ya," pamitnya sebelum menghampiri Vicky. Semoga pacarnya itu tidak curiga tentang apa pun.

*****

Mereka berjalan lambat-lambat sambil menikmati suasana sekitarnya. Kompleks perumahan Nathan masih sangat asri dengan banyaknya pepohonan besar di pinggir jalan.

"Kau bicara apa sama pembantu barumu itu?" tanya Vicky penasaran.

"Oh." Nathan memutar otak cepat. "Aku minta dia mencuci jaket baruku dengan lebih hati-hati."

Vicky nyengir. "Sampai bisik-bisik penuh rahasia begitu?"

"Ah, biasa saja." Nathan tersenyum, sementara hatinya berdarah-darah. Ia berbohong pada Vicky dan menyakiti Elsa. Ia sudah mengkhianati dua orang.

Ia kembali teringat ekspresi sakit hati Elsa tadi. Nada suara Elsa terasa seakan ingin mengusirnya, tapi juga tidak ingin dirinya pergi. Elsa terdengar membenci dirinya sendiri.

It Has Always Been You (Years, #3)Where stories live. Discover now