Gandi mengangguk.

Renata tak repot-repot menunjukkan wajah kagumnya. "Arsitek hebat ternyata. Pernah menangani proyek apa?"

Kini Renata dan Gandi sudah asyik bercerita seputar dunia konstruksi yang gue, Kadek dan Oliv tidak pahami sama sekali. Tapi gue bersyukur, setidaknya fokus si Gandi sudah teralih. Jadi dia nggak repot-repot gangguin gue mulu.

Percakapan mereka semakin seru saat para pria dan Iin join kembali di ruang tamu. Apalagi Bang Ben. Dia kirim-kirim kode ngajak Gandi gabung di perusahaannya sebagai arsitek senior. Gandi menanggapi dengan santai.

Berat juga kalau si Gandi kerja bareng Bang Ben. Pastinya suami a.k.a kakak temen gue itu harus merogoh kocek dalam-dalam untuk menggaji si Gandi. Harus gue akui, sebagai seorang arsitek, he is brilliant.

"You should come back to Indonesia for good, Man," saran Bang Ben. "Lo harus jadi bagian dari perubahan-perubahan disini. Percaya sama gue, pasti lebih menyenangkan kerja di tanah air. Walaupun gajinya mungkin jauh dari yang selama ini lo dapat, tapi ada kepuasan yang dolar-dolar di rekening lo nggak bisa beli. Gue bilang begini karena gue juga sempat bekerja di LN beberapa tahun."

"Dimana?" tanya Gandi.

"Canada. Akhirnya gue balik kesini juga. Gimana, panggilan hati. Indonesia ini, bukan cuma makanannya yang ngangenin, cewek-ceweknya juga ngangenin. Disana nggak ada yang kecil imut-imut punya lesung pipi," Bang Ben menggoda Oliv yang wajahnya langsung bersemu.

Oliv menepuk manja lengan suaminya. Bang Ben tersenyum lalu mengacak-acak rambut istrinya.

They are very cute, I can tell.

"Gue emang nggak pernah kerja di luar negeri. Tapi, gue bisa jamin tinggal disini lebih enak. Lebih dekat dengan keluarga. Duit mah bisa dicari, tapi kehangatan setelah kumpul dengan keluarga besar itu nggak ternilai harganya," Bara ikut menyentil.

Gandi tersenyum tipis tanpa merespon ucapan Bang Ben dan Bara. Yakin nggak yakin, tapi gue ngerasa Gandi malas membicarakan tentang keluarganya.

Gue semakin yakin omongannya seminggu lalu bukan cuma candaan. Dia emang kangen dengan orang tuanya. Kasian juga.

Ih. Apaan gue kasian-kasian sama dia. Bodo amat. Dia kan udah gede. Kalau kangen ya dia tinggal ke Medan. Duitnya banyak masa beli tiket pesawat ke kampung halaman nggak bisa. Impossible.

"Ma, makanan disini sepertinya kurang. Aku ke belakang dulu ya ngambil kolak pisang yang kamu buat," sahut Fachri tiba-tiba.

"Gue bantuin, Bro. Emak-emak disini biarin ngerumpi," Bara ikut bangkit dari tempat duduknya untuk membantu Fachri.

Gandi berubah jadi sedikit-sedikit banget sih-lebih pendiam. Bang Ben padahal sudah kembali ke topik seputar dunia konstruksi, namun dia tetap aja nggak seantusias sebelumnya.

Ih. Sotoy gue.

"Jeng, Syifa nya gue bawa ke kamar aja, deh. Lo pasti pegal juga. In, numpang kamar tamu lo, ya," Renata baru akan bangkit dari kursinya tapi Gandi menghalangi.

"Saya saja."

Gue menggeleng. "Nggak berat, kok. Disini aja."

"Ya biar Syifa nya tidur bisa lebih nyaman juga, Ajeng," potong Gandi lalu meraup Syifa ke dalam gendongannya.

Renata dan Iin mengikuti Gandi ke kamar tidur.

"Gandi sama Iinnya kemana?" tanya Kadek yang heran melihat Renata muncul tak lama kemudian.

Renata mengangkat bahu. "Tadi sih kata Iin, papanya nyari Gandi. Mau ngobrol sebentar kayaknya."

"Jeng, gue suka deh sama Gandi. He seems nice. Dia juga tertarik banget sama lo. Dan dia nggak malu untuk nunjukinnya," Kadek membuka cerita.

Over The Moon (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now