[21] Teman Semalam

3.2K 307 20
                                    

"Aku tahu ada banyak sekali kalimat yang bergumul di dalam kepalamu saat ini, tetapi kau harus tahu kalau aku tidak akan mendengarkan satu pun." Nils memutar anak kunci pada lubang kunci tanpa memandangku yang berdiri di sebelahnya, merasa jengkel. Meski demikian, aku memang tidak berniat mengeluh, sebab otot-ototku sudah terlalu penat.

Tidak banyak perubahan di dalam rumah itu sejak terakhir kali aku berada di sana. Kecuali sebuah rak tambahan yang menempel memanjang di dinding koridor utama, yang disesaki oleh banyak buku yang judul-judulnya berbunyi aneh. Nils berjalan di depanku sambil melepas mantel, menampilkan bahu kemejanya yang kusut. Dia menunjuk sofa dengan dagu.

"Duduk saja di sana," katanya. "Aku segera kembali."

Dan ia menyampirkan mantel pada lengannya, kemudian berjalan meninggalkanku menuju kamar tidur. Tinggallah aku sendirian, membenamkan tubuh pada sofa.

Dalam keheningan yang kuharap mampu menendang keributan di dalam benakku, aku justru dicecar oleh pertanyaan-pertanyaan baru. Mengapa aku mau-maunya ikut kemari? Mengapa aku tidak pulang saja dan bersenang-senang sendirian di rumah, seperti yang biasa kulakukan? Mengapa pula aku baru menyadari ini?

Mengapa aku selalu berakhir menjadi orang yang kalah? Kalah debat dari Nils, kalah dari keinginannya, kalah dari semuanya. Aku selalu berada di dalam posisi menjadi orang yang mengikuti semua yang ia inginkan. Semua yang ia perintahkan. Apakah diam-diam dia telah memasang tali-temali tak kasatmata pada tidak hanya tubuhku, tetapi juga pikiranku, sehingga ia dengan begitu mudahnya mengontrol diriku layaknya dalang yang bisa memainkan sebuah boneka?

Aku sudah berkali-kali bersinggungan dengan hidupnya, tak peduli seberapa kuat aku berusaha menghindarinya. Kesadaran ini mengiris dadaku. Aku seperti orang yang tidak bisa mengontrol diriku sendiri, atau bahkan tanpa sadar, selama ini aku bukan pemilik atas diriku sendiri, dan Nils merasa dia memilikiku, sehingga dia merasa bebas melakukan apa yang ia mau.

Aku tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Detik itu juga kuputuskan untuk pergi. Dia harus tahu bahwa dia tidak punya kuasa atas diriku, dan akulah yang berkuasa atas diriku sendiri. Aku bangkit dari sofa, membenarkan posisi sepatuku, dan ketika aku akan pergi, si berengsek itu memunculkan batang hidungnya. Dia tampak heran.

"Mau ke mana?" tanyanya.

"Pulang," jawabku datar.

"Kita bahkan belum bersenang-senang."

"Bersenang-senanglah dengan dirimu sendiri. Aku mau pulang."

Aku mengambil langkah. Tetapi pria itu berjalan dengan langkah cepat nan panjang, berhasil memotong jalanku menuju pintu depan. Dia menatapku tanpa segelintir pun emosi di matanya. "Kenapa kau mau pulang?"

"Karena aku mau, dan kau tidak bisa melarangku untuk melakukan apa yang kumau," jawabku.

"Mengapa sikapmu mendadak berubah seperti ini?" Alisnya bertaut. "Tadi kau setuju untuk bersenang-senang denganku."

"Karena aku muak menjadi orang yang selalu mengikuti kemauanmu." Aku membuang tatapanku darinya. "Setiap kali aku berada di dekatmu, aku selalu tidak punya kuasa atas diriku sendiri. Aku akan pergi sekarang juga."

Kupikir dia akan tetap mengadang jalanku seperti yang biasa ia lakukan. Tetapi tidak. Dia justru mengambil satu langkah ke samping, memberiku jalan. Aku menatapnya sekilas. Dia menunduk, seperti menjauhi pandanganku.

Begitu bunyi klik di pintu terdengar, Nils berkata, "You're such a great woman, Mileva."

Aku menoleh. Dia kini berdiri menghadapku, memandangiku dengan serius.

"You're such a great woman," ulangnya.

Aku masih menatapnya.

"Aku tidak akan menghalangimu kali ini," katanya. "Lakukan saja apa yang kaumau sesukamu. Walau aku akan merasa kecewa jika kau benar-benar melangkah keluar dari pintu itu."

Sincerely, Your Boss [Nils Rondhuis]Where stories live. Discover now