[7] Twerking Twerking Little Bitch

4K 331 39
                                    

Ini adalah pertama kalinya aku menyaksikan seseorang meneguk sebotol susu di meja bar.

Ya, siapa lagi kalau bukan Martijn pelakunya.

Bahkan dia sendiri yang membawa botol susu itu kemari.

Tanpa memedulikan hentakan musik electronic dance disertai cahaya lampu warna-warni yang membanjiri kelab, laki-laki itu meneguk susunya dengan patuh. Dia tidak tergoyahkan sama sekali. Sementara itu para pegawai kantor wanita yang biasanya berpenampilan membosankan mendadak menjadi begitu atraktif dengan riasan wajah glamor dan pakaian yang minim. Para pegawai pria sendiri juga tak kalah hebohnya. Sementara itu, Mr. Grigahcine sang penyelenggara acara yang sekaligus berulang tahun, berdiri di balik dj booth bersama seorang disc jokey di sebelahnya.

"Orangtuamu tak ada di sini, Martijn," kataku. Kami berdua duduk di kursi bar bersebelahan. Aku menatapnya sambil memegangi gelas martini berkaki satu.

"Iya, tapi aku masih berusia duapuluh tahun," sahutnya. Dia meletakkan botol susu yang terisi setengah di meja. "Dan orangtuaku akan mengamuk jika aku pulang dengan bau alkohol."

Aku tertawa tertahan. Aku menyukai bocah ini, sungguh. Dia sangat lugu luar dan dalam. Aku harus menahan diri untuk tidak mencubiti pipinya saat dia mulai meneguk susu lagi--dia pasti akan merasa malu kalau aku melakukannya.

"Mengapa kau tak menari, Sweet Mileva?" tanya Martijn, membuka obrolan baru.

Aku mengangkat bahu. "Aku cukup menonton dari sini saja. Bagaimana denganmu?"

Martijn mengangkat botol susunya. "Aku sudah mabuk lebih dulu karena minuman ini."

Tawa berderai di antara kami. Aku mengajak Martijn bersulang. Dia terlihat agak sedikit malu tetapi tidak menolak. Katanya, dia baru akan minum alkohol bila usianya sudah benar-benar menginjak dua puluh satu tahun.

Lalu obrolan terus berlanjut. Martijn menceritakan tentang dirinya yang masih tinggal bersama kedua orangtuanya yang ketat dalam peraturan--bahkan Martijn sudah harus berada di rumah sebelum pukul sebelas malam nanti--yang kadang membuatnya tersiksa tapi dia dengan patuhnya menuruti mereka demi "kebaikan diri". Dia juga bercerita tentang pacarnya yang goblok yang ia panggil Gretchie--yang tidak tahu cara nenggunakan mesin cuci, benar-benar gila--tapi dia tetap menyayanginya.

"Oh, kuharap ada laki-laki sepertimu yang seusiaku, Martijn," ujarku.

"Memangnya kenapa?" tanya Martijn.

"Sulit menemukan pria baik pada zaman seperti ini," jawabku.

"Bukannya semua wanita suka pria-pria nakal?" Martijn mengulum senyum. "Lebih menantang, kan?"

Aku menggeleng, menghela napas panjang. "Omong kosong. Itu cuma bualan di film dan novel. Tak ada wanita yang menginginkan pria nakal. Kami menginginkan pria baik-baik, supaya kami diperlakukan dengan baik."

Bocah itu manggut-manggut, seperti langsung memahami ucapanku dengan tepat. "Apakah itu alasannya kau masih sendiri hingga kini, Sweet Mileva?"

Pertanyaan itu memencet tombol kesadaran yang tersembunyi jauh di dalam benakku. Aku belum pernah memikirkan pertanyaan tersebut sebelumnya, dan bocah peminum susu ini membuatku langsung memikirkan hal itu baik-baik. Apa benar aku masih sendiri karena alasan itu? Maksudku, sebenarnya ada alasan lainnya yang membuatku tetap menyendiri hingga kini, tetapi apakah kesulitan menemukan pria baik-baik juga termasuk ke dalam alasan itu?

"Entahlah," jawabku, setelah obrolan kami terjeda beberapa saat. "Aku juga tidak tahu."

"Atau kau tidak mencoba sama sekali? Kau tak akan pernah tahu mana pria baik-baik yang bisa menjadi pasanganmu kalau kau tidak mulai mencari, iya kan?"

Sincerely, Your Boss [Nils Rondhuis]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant